Author's POVLelaki itu berlari sekencang-kencangnya mencari kamar yang dituju. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Jantungnya berdetak tak karuan, bahkan tangan dan kakinya bergetar hebat. Rasanya ia ingin berteriak sekuat mungkin saat mengetahui apa yang terjadi pada gadisnya itu.
"Harry?" Wanita cantik dengan pipi tembem itu terlihat kaget saat melihat kekasih anaknya. Wanita itu terlihat sangat kacau, wajahnya merah, matanya sembab, dan rambutnya berantakan.
Harry langsung memeluk wanita itu. "Apa yang terjadi?"
"Para polisi bilang ada kemungkinan bahwa ini adalah pembunuhan berencana. Menurut mereka, para penabrak memang sudah merencanakan untuk menabrak Mel. Karena waktu itu jalanan sepi adalah saat yang paling tepat, mereka akhirnya menabrak Mel. Para polisi mengecek CCTV yang berada di jalan tersebut, kecepatan mobilnya sangat tinggi. Itu sebabnya kemungkinan kecil bagi Melissa untuk selamat." Melanie kembali meneteskan air matanya. Harry mengelus pundak wanita itu. Ia berusaha menenangkan wanita itu, meskipun ia sendiri tidak bisa tenang.
"Harry?" Suara serak itu terdengar oleh Harry. Harry mendongkak menatap si pemilik suara.
"Hai, Molly," lirih Harry.
"Kau mau ikut bersamaku untuk menemani Kak Mel?" Tanyanya sedikit memohon. Keadaannya tidak jauh beda dengan Melanie, ia terlihat kacau.
Harry hanya mengangguk dan mengikuti Molly.
Ceklek!
Apa yang kau rasakan saat kau membuka pintu dan langsung melihat orang yang kau cintai berbaring lemah dengan selang-selang yang tertempel di setiap sisi tubuhnya? Hati Harry terasa seakan-akan diremas begitu kuat. Napasnya tertahan. Matanya sudah tidak bisa membendung air mata lagi. Tetes demi tetes air matanya membasahi pipinya. Sebut saja ia lelaki cengeng karena ia tidak akan peduli. Gadis yang baru saja membalas cintanya seminggu yang lalu, sedang terkulai lemas dengan alat-alat dokter yang membuatnya tetap hidup. Gadis itu sudah di antara hidup dan mati. Irama denyut jantungnya pun sudah sangat lambat.
"Dokter berkata jika tiga hari lagi mereka tidak menemukan pendonor jantung yang tepat, mereka terpaksa melepas semua alat yang membantunya hidup." Molly sudah tidak bisa menahan tangisannya. Ia sudah menggigit bibir bawahnya dengan kuat agar tangisannya tidak pecah lagi. Tetapi, apakah kau akan kuat jika saudara sekaligus sahabatmu sudah diambang kematian?
"Aku permisi dulu, Harry," lirih Molly sambil mengusap air matanya dan tersenyum simpul.
Tenggorokan Harry terasa kering, ia bahkan tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Ia hanya mengangguk dan membiarkan Molly keluar ruangan itu, meninggalkan Harry dan perempuan yang sedang memperjuangkan hidupnya.
Harry berjalan mendekati gadis itu. Jantungnya berdetak sangat kuat, berbanding terbalik dengan gadis itu. Wajah gadis itu terlihat sangat pucat. Senyuman yang biasanya menempel di wajahnya kini tak terlihat. Harry mengelus pipi gadis tersebut. Bahkan bekas luka sayatan di pipinya belum menghilang, namun sudah ditambah lagi dengan luka-luka lecet. Harry pun duduk di bangku yang berada di sebelah kasur Mel.
"Mel," bisik Harry. Air matanya kembali keluar. Tangannya menggenggam tangan mulus Melissa yang sangat dingin.
"Maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku, maafkan aku..." isakkan tangis terdengar di ruangan itu, beriringan dengan suara kardiograf yang terdengar pelan dan lemah.
"Maafkan aku, Mel. Seharusnya aku menemanimu saat itu." Harry mengecup tangan Melissa. Tangisnya tidak bisa berhenti.
"Untuk kedua kalinya, aku membiarkan orang yang aku sayang meninggalkanku," bisik Harry.
KAMU SEDANG MEMBACA
HERE
Fanfiction[COMPLETED] 22 Oktober 2016 TOLONG jangan mengikuti setiap bagian kecil dari cerita. Apalagi 'hal-hal aneh dan unik' yang ada di ceritaku, itu susah mikirnya. TOLONG hargai:) Jangan plagiat ya. ⚠WARNING⚠ Cerita ini aku tulis udah lama banget, jadi p...