A note from silly me.
Hai. Akhirnya, cerita ini selesai juga. Waktu yang dibutuhkan dari cerita ini pertama kali dibuat sampe selesai adalah 2 tahun lebih. Tsadeeezt. Dan selama kurun waktu cerita ini tayang di tempat asalnya, cerita ini pernah lanjut, lalu tertunda, dilanjut lagi, ditunda lagi. Lalu saya kembali untuk menyelesaikan apa yang saya mulai. Tau ga, ini pencapaian pertama saya untuk menyelesaikan sesuatu. Saya ga pernah bisa menyelesaikan apa yang saya mulai sebelumnya. Baik lewat cerita-cerita, ketika saya menggambar dan melukis, apapun di kehidupan nyata saya. Saya terlalu takut bahwa saya ga bisa menggambarkan akhir yang sesuai dengan ekspektasi saya. Makanya, saya jadi kabur lalu lari. Saya terlalu takut kepada bayangan-bayangan yang di buat otak saya sendiri.
Lalu di suatu malam, saya di telepon nyokap. Beliau bilang, saya mesti berani. Saya mesti menyelesaikan apa yang saya mulai. Katanya, wajar kalau takut. Semua orang punya ketakutannya masing-masing. Lalu saya diberi pertanyaan begini, "emang kamu ga curiga ada apa gitu yang ngumpet di balik ketakutan-ketakutan kamu sendiri?" Dari situ, rasa penasaran saya bangkit. Saya mau tau, kalo saya bisa menyelesaikan sesuatu, apa yang akan saya dapat.
Eh, ternyata hasilnya keren: bahagia.
Ternyata kebahagiaan versi saya simpel. Cukup dengan menembusi kabut ketakutan saya, dan melihat apa yang ada di akhir dari perjalanan saya. Terus, karena saya bahagia, saya jadi punya dorongan semangat untuk lebih maju lagi. Pelan-pelan, ketakutan itu pun sirna. Saya belajar banyak. Saya pengen jadi kayak Ebi, yang bisa menggeser ketakutan-ketakutannya dan berani menghadapi apapun di hidupnya.
Seiring saya bikin cerita ini, banyak pelajaran yang saya dapet. Cerita ini kayak self note buat saya. Cerita yang ingetin saya untuk bermimpi, untuk menjalani hidup, untuk menentukan tujuan, untuk mengingatkan rasa bahagia. Untuk lebih membuka diri. Ini tuh jadi kayak semacam pengingat gitu, tapi dalam bentuk cerita. Jadi bisa saya baca sendiri, terus inget-inget apa aja yang saya lewatin, dan yang bisa saya gapai. Bisa di raih.
Bersamaan dengan cerita ini juga, saya udah ngerasain banyak kehilangan. Terlalu banyak, dan saya rasa akan lebih banyak lagi. Karena kehilangan itu juga, saya jadi ditinggal sendiri. Cuma, sekarang saya ingin lebih bisa menerima. Menerima mereka yang pergi jauh hingga ga bisa saya gapai lagi. Dan mereka yang pergi, menunggu untuk saya raih kembali. Saya pengen jadi kayak Manda, yang merasakan banyak kehilangan dan kesendirian tapi ga pernah menyerah untuk berharap akan pengganti, akan keajaiban-keajaiban.
Lalu, selama kurun waktu tersebut, kehidupan saya terasa jungkir balik. Wuih, kayak naik komedi puter tapi di set di kecepatan tertinggi. Bikin mabok, takut, gempor, puyeng, semaput. Saya pernah ada di titik terbawah kehidupan. Melongok ke atas, berandai-andai berada di tempat yang sejajar dengan mereka yang sudah jauh terbang di atas saya. Saya pernah putus asa juga. Pernah capek sama kehidupan ini, dan ga pengen ngelanjutinnya lagi. Saya pernah muak sama semuanya. Kayak abege labil gitu, cuma ini skala depresi. Fufufu. Saya pernah merasa terlalu capek untuk berusaha lagi, bangkit lagi, hanya untuk dijatuhkan lagi. Saya pernah berpikir semua yang saya lakuin itu sia-sia. Proses yang percuma.
Tapi hidup punya caranya sendiri untuk membawa orang yang ada di bawah, untuk naik pelan-pelan ke atas. Dengan memberi mereka kesempatan. Kesempatan terbesar yang dikasih hidup untuk saya itu klise: membuka pikiran saya. Dengan pikiran yang terus membuka, saya jadi bisa nangkep makna-makna di sekeliling saya. Makna hidup yang bikin saya bangkit lagi. Persetan sama capeknya usaha, saya ga mau ribet. Kalo capek ya istirahat, terus lanjut lagi. Saya pengen jadi kayak Aurel, yang bisa bangkit dari keterpurukannya, terbang semampu dia mengepakkan sayapnya.
Saya juga pengen kayak Devi, yang bisa bersikap tenang meski masalah keroyokan datang. Jadi orang yang bisa menempatkan dirinya sendiri untuk berbuat sesuatu ke orang lain. Untuk berbagi. Untuk berkorban. Saya pernah berkorban, dan masih sedang berkorban. Rasanya berat, cuma anehnya, saya bahagia. Pengorbanan ternyata adalah salah satu hal sulit yang bisa mendatangkan kebahagiaan. Ga heran bokap saya ga pernah berenti untuk nyari penghidupan buat anak-anaknya, meski fisiknya udah ga sekuat dulu. Ayah saya adalah contoh sempurna buat saya, bagaimana berjuang untuk orang yang disayang itu mendatangkan kepuasan diri dan kebahagiaan.
Saya belajar banyak dari cerita ini. Dari kisah ini. Belajar memulai segalanya dari nol. Saya juga sadar, bahwa cerita ini masih jauh dari kata sempurna. Masih banyak lubang disana sini. Saya juga masih payah, jauh dari yang lain. Saya juga ga pernah merasa punya bakat menulis, yang saya tau, saya suka menuangkan isi kepala saya ke dalam kata-kata. Dan untuk sebuah hobi, saya sudah terjun terlalu dalam. Ckckckck.
Saya mesti banyak belajar lagi. Tapi kata temen saya, berproses adalah belajar. Jadi saya mau ngelakuin proses sebanyak-banyaknya, untuk belajar banyak juga^^
Nah, untuk itu, saya ucapin terima kasih banyak untuk yang telah membaca cerita ini. Untuk yang komen, yang kirim vote, yang selalu semangatin saya, yang nungguin dengan sabar sampe dua tahun. Gilaaa, saya kayak cowok brengsek yang kabur-kaburan, sementara kalian pacar saya yang setia. Myahahahaha. Terima kasih untuk semuanya, hal-hal yang berharga itu ga akan bisa saya lupain. Maaf karena sering bikin kecewa, dan terima kasih lagi, untuk kesempatan yang masih diberikan.
Saya ucapin terima kasih banyak untuk Spartan, grup tempat saya bernaung dan berceloteh tiap harinya, atas dorongan semangat, sampe ledekan karena ga pernah tamat. Ini udah tamat satu coy! Lalu untuk temen-temen lama saya, yang udah kasih kesempatan untuk maafin saya atas segala hal mengecewakan yang saya lakuin dulu. Yang rusak emang ga pernah bisa kayak baru lagi, tapi kalo diperbaiki, seenggaknya masih bisa digunakan kembali. Hazek. Juga untuk temen-temen baru, yang dipertemukan karena rencana semesta.
Untuk kalian, yang membaca cerita ini. Saya mah ga ada apa-apanya tanpa kalian. Semacam remah gorengan. Justru karena pembaca, saya jadi berarti. Bentar, lebih tepatnya, kita semua berarti. Kita adalah teman yang berada di bawah langit yang sama. Terhubung oleh kata-kata.
Oh iya, kalo boleh, saya minta kalian tulisin kesan dan pesan kalian ya selama membaca cerita ini dari awal sampe akhir. Ga mesti panjang kok. Saya selalu suka membaca komentar kalian. Bukan untuk berbangga diri, cuma rasanya jadi ada bahagia terselip ketika saya baca-baca komennya.
Terima kasih atas waktunya, dan kesempatan yang diluangkan. Semoga kita bisa ketemu di persimpangan takdir di depan sana. Ngopi-ngopi sambil bercerita tentang banyak hal. Tentang kehidupan, beserta isinya.
Salam ga super,
hellondrea little note from me,
If you, by any chance, finally decide to read this story, I just want to tell you:
Every fragment of you were scattered and described as words, in this story.
KAMU SEDANG MEMBACA
The MAD Trip
Romantizm"Ketika satu liburan mengubah semuanya, dan membuatmu percaya bahwa tiap orang bisa mewujudkan mimpinya." Semesta selalu punya cara unik nan ajaib untuk mengubah hidup manusia. Dan untuk Ebi, perpanjangan tangan semesta itu hadir lewat sebuah libura...