Chapter 29

58.3K 4.7K 365
                                    

Nathan berlari menuju meja informasi dan menanyakan ruangan tempat papa Adisty dirawat.

Namun bahunya ditepuk oleh seseorang, membuatnya membalikkan badan.

Adisty tersenyum melihat Nathan yang masih bercucuran keringat mengenakan seragam basketnya tengah menatap gadis itu dengan ekspresi khawatir yang amat kentara.

"Jam kunjung pasien udah habis kali Nat." Ucapan Adisty membuat Nathan menghela napas panjang.

"Tapi tadi... lo kok bisa bareng sama Nial? Baru setengah jam yang lalu Dis."

"Sok tahu banget lo, haha. Nial udah pulang dari tadi."

"Tapi... asshh ya udah deh, lupakan. Nggak penting." Nathan mengacak rambutnya karena bingung.

"Makan di kantin yuk, lo pasti laper kan?" Ajakan Adisty disambut anggukan dan cengiran Nathan.

Suasana kantin sudah sepi karena waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam.

"Gue punya hadiah buat lo Dis."

Adisty menatap Nathan dengan alis hampir menyatu, "hadiah apa?"

Nathan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, sesuatu berbentuk bola basket berwarna emas dengan ukiran dibawahnya yang bertuliskan 'top scorer of the year'.

Adisty tersenyum sambil mengelus piala top scorer milik Nathan. Tadinya Adisty khawatir ketika mendapat telepon dari Pak Widodo yang mengatakan bahwa permainan Nathan menurun akibat provokasi Ardan. Namun ternyata cowok tersebut mampu menekan emosinya.

"Lo hebat Nat," ucap Adisty tulus lalu menyerahkan kembali piala tersebut.

"Gue mau lo simpan piala ini Dis."

"Kenapa gue?"

"Basket adalah hidup gue dan gue udah nggak mungkin ikut basket lagi setelah naik ke kelas dua belas. Tadi itu pertandingan terbesar terakhir yang gue ikutin. Makanya gue mau lo simpan kenangan perjuangan terakhir gue di dunia basket."

Saat mengatakan hal itu, tatapan Nathan hanya tertuju pada piala tersebut. Seakan memang piala itu adalah sesuatu yang sangat berharga baginya.

"Ini barang berharga buat lo Nat, lebih baik lo sendiri aja yang simpan."

"Justru karena ini barang berharga gue makanya gue mau piala ini disimpan sama orang yang juga berharga bagi gue."

Ujung mata Adisty terasa berair ketika mendengar Nathan mengucapkan hal tersebut.

"Nat, gue boleh nanya sesuatu nggak sama lo?"

Nathan tahu apa yang akan ditanyakan Adisty. Ia sudah memprediksi sebelumnya bahwa gadis itu masih sangat ingin mengetahui kebenarannya.

"Nggak," jawab Nathan singkat yang diikuti helaan napas oleh Adisty.

"Maksud gue lo nggak perlu nanya karena gue yang akan selalu terbuka sama lo mulai sekarang."

Nathan merasa bahwa ini memang menjadi moment yang tepat untuknya kembali terbuka pada seseorang.

"Dulu gue sama Ardan satu SMP. Gue sama dia sering main basket barengan. Waktu itu dia ngenalin sepupunya ke gue." Nathan terlihat menarik napas panjang.

"Awalnya gue dingin sama dia tapi lama kelamaan dia bisa bikin gue nyaman. Hubungan gue sama dia lumayan dekat tapi nggak pernah saling mengikat."

Adisty menatap dalam ke manik mata Nathan. Seakan cowok di hadapannya itu benar-benar merasakan kembali apa yang dia alami dahulu.

"Tapi tiba-tiba Kudanil ngerebut dia dari gue. Bisa apa gue kalau hubungan gue sama dia emang nggak pacaran sejak awal. Dan gue pikir dia emang nggak serius sama gue karena kalau dia serius... nggak mungkin dia mau sama Kudanil, iya kan?"

ELNATHANIALTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang