11. Percaya

1.9K 100 0
                                    

 
Tepat pukul setengah enam sore, Aura dan Arthur sudah duduk manis di emperan bendungan tambak sambil membuka bungkus ice cream yang Arthur bawa. Arthur mengajaknya ke sebuah perumahan yang sudah banyak rumah terlantar. Tidak ditinggali, bahkan ada yang ditumbuhi tanaman liar. Hanya beberapa rumah yang berpenghuni.

Aura sempat mengerutkan dahinya menatap Arthur yang membawanya ke tempat itu. Arthur malah nyengir kuda menanggapi rasa heran Aura. Arthur mengajaknya untuk duduk di atas bendungan batako dan mengambil bungkusan yang ada di dalam bagasi motornya. Saat Aura membukanya, ternyata itu ice cream yang sempat Arthur beli di supermarket sebelum menjemput Aura.

Suasana saat itu sepi. Senja perlahan mulai nampak mengikuti tenggelamnya sang surya di ufuk barat. Arthur sengaja membeli ice cream banyak. Ada lima bungkus ice cream dengan aneka bentuk dan rasa. Aura tersenyum lebar saat Arthur bilang ia bisa makan sepuasnya.

Arthur sudah tahu itu.

"Lo kok bisa bikin ide gini kenapa, sih?" Aura bertanya dengan mulut yang belepotan.

Arthur memandang cewek di sampingnya sambil tersenyum. "Ya, gue dulu sering banget ke sini." ucapnya mulai sendu. "Sahabat kecil gue juga sering ke sini," kini ia menatap air tenang. "Tentu sama gue."

Aura tidak mengerti arah pembicaraan Arthur. Ada rasa tidak enak pada Arthur yang Aura rasakan saat Arthur menatap air tenang dengan tatapan sendu. Arthur nampak murung. "Maaf, kalau gue bikin lo inget masa lalu,"

Arthur tercekat. Justru gue pingin nginget masa lalu. Gue pingin kembali ke masa lalu dan merubah sedikit keadaan, Raa.

"Lo suka, nggak?" Arthur mendongak menatap Aura. Arthur tersenyum. Senyumnya ... sendu. Seperti menyesali sesuatu.

Aura mengangguk sambil menjilati stik ice cream terakhirnya. "Suka!" Ia memasukan sampah stik ke dalam plastik. "Lo tahu tempat ini dari mana?"

Arthur kembali mengarahkan pandangannya pada langit jinga. "Ya, dari dulu gue tahu tempat ini."

Aura mengangguk saja. Ia juga menikmati senjanya kali ini. Hangat. Nyaman. Rasanya ia tidak ingin pergi dari situ. Langit semakin berwarna oren. Suasana bertambah sepi. Semilir angin menjadi dingin.

Matahari terbenam sekitar jam tangannya menunjukan pukul enam. Aura sempat bergidik ngeri saat langit berubah menjadi hitam pekat. Penerangan yang remang-remang menambah kesan menyeramkan. Mereka masih duduk di situ. Aura masih memandang air tambak berwarna hitam yang mengikuti warna langit. Arthur masih memandang langit dengan bintang yang mulai muncul.

"Lo percaya bintang jatuh gak?"

Aura terkesiap. Ia memandang cowok di sebelahnya ini. "Gue, sih, percaya aja."

Arthur masih memandang bintang. "Trus, kalau lo lihat, lo bakal bikin permohonan?"

Aura tersenyum samar. Ia mengikuti arah pandang cowok itu, memandang bintang. Aura bisa melihat bintang malam ini tidak banyak. Tidak seterang bintang kemarin. "Mungkin,"

Telapak tangan Arthur menapak di tanah berumput kasar. Kakinya masih bersila. Matanya masih menatap bintang. "Kalau sekarang bintang jatuh, lo mau bikin permohonan apa?"

Aura mengernyit. "Gak tahu." dalam hitungan detik, bahunya terangkat. "Kalau lo, percaya bintang jatuh?"

"Gue...," Arthur menggantungkan ucapannya, beralih menatap Aura. "Gue gak percaya."

Aura balas memandangnya. "Kenapa?"

"Setiap gue minta permohonan, apa yang gue minta gak pernah dikabulin."

Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang