19. Kenyataan Pahit

1.8K 82 2
                                    

Sekolah sudah sepi, anak-anak sudah pulang ke rumahnya masing-masing sejak dua jam yang lalu. Namun Aura masih berdiri di halte bus karena ia baru saja selesai mengikuti ekstrakulikuler PMR. Baru kali ini ia memilih salah satu dari kegiatan tambahan setelah jam sekolah.

Kegiatan PMR yang menghibur dapat membuat Aura bertekad akan melanjutkan kegiatan tersebut setiap hari Kamis ini. Tapi, mengingat angkot yang minim jika jam sudah menunjukan pukul setengah lima membuat Aura kembali memikirkannya. Ia tidak ingin lagi ikut kegiatan tersebut.

Aura berdiri di pinggir jalan tepat di halte yang sudah sepi. Dua pedagang asongan duduk di halte dengan mencopot topinya dan mengelap keringatnya dengan handuk yang tersampir di lehernya. Aura makin lelah.

"Pulang yuk, gue anterin."

Entah kenapa, saat suara itu tiba-tiba terdengar, Aura berharap orang itu adalah Arthur, bukan yang lain, bahkan kakaknya sendiri. Saat Aura menoleh, ternyata Isaac duduk di atas motor dengan helm yang masih dipakainya. Aura menghela napas, harapannya salah.

"Kok belum pulang?"

Isaac mencopot helmnya. "Iya, tadi abis nongkrong dulu," Isaac tersenyum merespon diamnya Aura. "Gue anterin, ya. Tapi mampir dulu ke café, gue mau ngomong sama lo," kata Isaac.

Otomatis, Aura mengernyitkan dahinya, bingung. Karena tidak mau menunggu angkot yang tidak muncul-muncul, akhirnya Aura mengangguk. "Ini udah sore, pulangnya jangan malem-malem, loh!"

Isaac tersenyum tipis lalu memakai helmnya. Aura pun naik ke atas jok motor Isaac dengan kikuk seperti baru pertama kali berada di belakang punggung Isaac. Mereka pun melesat pergi melewati jalanan padat.

Sore ini jalanan terlihat padat. Tidak perlu membuang waktu lama untuk sampai di caffe ini, Isaac pun sudah memarkirkan motornya di samping caffe. Isaac melepas helm dan Aura turun lalu mereka masuk bersama.

Aura memandang seisi café dengan tatapan yang takjub. Bagaimana tidak? Ruangan itu berisikan fasilitas yang unik. Dari sofa yang terlihat kuno tapi unik, hiasan-hiasan yang masih antik. Tapi mereka memilih untuk duduk di belakang café yang lebih tak kalah jauh dari dalam ruang café tersebut.

Dari tempat yang dipilih mereka untuk duduk, Aura bisa melihat senja indah secara langsung. Sementara Isaac, ia pergi memesan sesuatu untuk di nikmati. Tidak lama ketika Aura menatap langit, Isaac datang dengan nampan berisi jus alpokat dan caramell mochiato di atasnya. Isaac meletakan jus alpokat di kursinya dan caramell mochiato di hadapan Aura.

Aura tertegun melihat minuman di hadapannya itu. Kenapa Isaac bisa tahu minum yang biasa ia pesan jika di café? Lagi-lagi pikiran Aura melayang jauh.

"Ra?" panggil Isaac memecah keheningan. Aura langsung tersadar akan lamunannya dan menatap cowok di hadapannya kikuk.

"Iya?"

"Lo suka sama Arthur?"

Untuk kesekian kalinya, Aura tertegun dengan suasana ini.

"Hm. Eng-- maksudnya?" ujar Aura gugup.

"Kalau gue suka lo gimana?"

Aura merasa waktu yang berputar langsung berhenti seketika. Hanya ada dia dan bayangannya yang masih sadar. Aura tidak tahu harus berbuat apa untuk saat ini. Matanya terus menatap bola mata Isaac yang memancarkan rasa ingin tahu yang dalam. Tapi rasanya itu menerawang. Tatapan itu menerawang.

Aura bungkam. Bagaimana perasaannya saat ini? Ia sangat tidak karuan. Detak jantungnya berdegup kencang. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya untuk Arthur.

Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang