30. Tak Karuan

1.5K 74 1
                                    

Seharusnya Aura tidak harus pusing memikirkan semua hal yang pernah ia pikirkan selama ia hidupnya. Tidak seharusnya juga ia melamun membayangkan ia pergi dan hanya bertemu lewat bayangan-bayangan yang tidak pernah ia tahu rasanya. Rasanya mungkin sakit. Melihat orang yang menyayanginya hanya dengan bayang-bayang. Melihat orang yang pernah menyayanginya sudah bersama dan melabuhkan hatinya pada orang lain, suatu saat nanti.

Bayangan itu berada diotak Aura. Ingin mengusirnya namun rasanya sulit. Seolah-olah seperti mengusir rasa nyaman di dalam hatinya. Semua itu karena ia tidak mau meninggalkan semuanya. Tapi dilain sisi, Tuhan masih menantinya dengan senyum yang Aura yakin tidak pernah pudar.

Pikiran itu melangkah jauh bahkan berlari hingga menuju puncak hal yang ia takutkan, tanpa sadar bahwa sudah dari pagi ia sendiri hanya ditemani keheningan dan deru napasnya. Ia takut sekali. Ia takut jika harus melihat Arthur atau yang lainnya lewat bayangan. Sekali lagi, Aura tidak ingin melihat dunia melalui bayangan.

Aura tersadar bahwa ia sendirian di dalam ruangan serba putih itu, akhirnya ia membenarkan posisi duduknya dan memandang ke arah jendela yang masih tertutup tirai. Hatinya berkata agar Aura membuka tirai itu agar pikirannya bisa lebih tenang. Namun pikiran otaknya berkata lain. Aura harus duduk diam menanti seseorang yang tidak tahu siapa yang akan datang.

Walau hati selalu masa bodo, tapi hati selalu berusaha benar.

Aura melangkah membuka tirai tersebut. Ruangan serba putih ini kian menguning saat cahaya siang masuk dengan leluasa lewat celah-celah ventilasi. Cuaca hari ini terlihat menyengat, sampai Aura harus memincingkan matanya bersamaan dengan telapak tangan yang menutupi matanya. Lalu Aura kembali duduk di tempat sebelumnya.

Aura mengambil tasnya di atas nakas sampingnya. Ia mulai menjelajahi tiap ruang dalam tasnya. Tangannya memegang ponsel yang bertujuan untuk mengusir bosan. Namun setelah ia meletakan tasnya ke tempat semula, ia dikagetkan oleh suara pintu yang berdecit. Otomatis Aura menoleh.

"Hai!"

Senyum Aura mengembang saat ia melihat Vira masuk dengan hebohnya. Aura meletakan ponselnya dalam pangkuannya menyambut Aura dengan pelukan sesaat. Ia menatap Vira yang nampak bahagia. Melihat itu, Aura semakin takut.

"Kok lo sendiri? Mana Vano?" tanya Vira bersamaan dengan duduk di kursi yang disedikan dekat ranjang.

Aura mengendikan bahunya. "Gak tahu. Pada suka ngilang, sih." Aura kembali mengambil ponselnya. "Lo ke sini sama siapa?"

Yang ditanya sedang sibuk merogoh tasnya. "Sama Kak Beny, sih, tapi dia cuma drop doang. Katanya nanti mau jemput" ketika ia sudah menemukan yang ia cari, ia bersorak. "YAAA!"

Aura mengerutkan dahinya. "Lo kenapa sih?"

"Lo tau nggak, Ra?"

Aura menggeleng bingung.

"Hari ini gue two month! Gue dikasih coklat sama bunga. Nah, karena gue baik, gue bagi deh kebahagiaan gue" ucap Vira sambil berusaha membuka bungkus coklat tersebut.

Aura nampak sangat kebingungan. "Lo udah dua bulan?"

Vira mengangguk.

"Seriusan?!"

Vira kembali mengangguk mantap. "Makanya jangan gantungin tuh Arthur, biar bisa nyusul gue!" Vira mencibir.

Aura tertegun sesaat. Berulang kali Aura menghilangkan rasa takutnya. Namun tetap saja rasa itu tidak hilang dari benaknya. Ia tahu Vira sudah bahagia. Tapi ia juga tidak ingin melihat Vira sedih saat ia pergi, walau Aura sebenarnya tidak tahu apa reaksi para kerabatnya.

Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang