"RARA, BANGUN INI UDAH JAM BERAPA?"
Aura bangun dengan mata sipit khas orang yang tidak tega meninggalkan kasurnya di pagi hari. Ia langsung melirik ke arah jam dinding yang berada di atas meja belajarnya. Dan mata Aura terbelalak kaget melihat jam.
Setengah tujuh? Jam segini biasanya ia sudah sarapan bersama di meja makan. Dengan cepat ia bangkit dan mengambil handuk untuk mandi. Lima menit berlalu. Jam berjalan makin cepat. Aura dengan kocar-kacir menyisir rambutnya yang sengaja ia gerai agar tidak lebih lama memakan waktu. Ia memakai sepatunya dan mengambil tas lalu berlari ke bawah.
Pagi hari yang cerah telah membuat Aura merasa bersalah pada Isaac. Kejadian kemarin sukses membuat Aura tidak bisa tidur semalaman. Ia sibuk memikirkan masa lalunya yang diceritakam oleh Isaac. Ia Chika. Dan ia masih heran dengan Arro. Siapa dia?
"Pasti insom," kata Vano yang sudah kembali normal. "Mikirin apa, sih? Mikirin Arthur?"
Aura mendengus. "Engak, ish!"
Heru yang sedang membaca koran meledeknya lalu menyeruput tehnya. "Oh, Arthur yang pernah main ke sini? Dia sopan, loh, anaknya."
Aura yang sedang meneguk susunya itu tersedak. "Enggak, Pa!"
Heru dan Vano pun tertawa renyah. Suasana yang sangat hangat seperti ini jarang terjadi bagi Aura. Rasanya tidak ingin pergi ke sekolah demi melanjutkan percakapan ini.
"Sudah, sudah, ini sudah jam 7, nanti kamu telat, loh," lerai Grace saat Heru dan Vano tengah tertawa dan Aura yang cemberut.
Vano mendadak berhenti tertawa. Vano dan Aura saling tatap kaget. Mereka langsung menepuk dahi dan mengambil tasnya.
"Pa, Ma, berangkat dulu, dah!" pamit Aura dan Vano bersamaan sambil berlari keluar menuju mobilnya.
Hari ini Vano memakai mobil. Karena rencananya, nanti sore ia akan pergi caffe dengan 4 sekawannya. Vano langsung melajukan mobilnya dengan cepat agar tidak terlambat.
"Pelan-pelan aja kali, Kak. Nggak usah ngebut juga bisa, kan?" ucap Aura memperingatkan.
Vano tidak menjawab. Ia masih sibuk memperhatikan jalan yang ada dihadapannya. Laju mobilnya masih tetap saja ngebut. Sampai Aura tidak berani membuka matanya. Aura hanya menutup mata, berdoa, berdoa, dan berdoa agar selamat sampai ke sekolah.
"Oh ya," kata Aura. "Lo ngapain pulang duluan?"
Vano menoleh sesaat untuk melihat adiknya yang juga menatapnya. "Kenapa emang?"
Aura tertawa sinis. "Kenapa?" tanya Aura mencemooh kakaknya. "Gue selama sekolah bareng lo, gue belum pernah pulang bareng lo. Gak kasihan apa sama adik seunyu ini nunggu angkot sendirian di halte. Gak ada tanggung jawabnya sebagai kakak gitu,"
Aura tertegun dengan kalimat terakhir. Vano sudah Aura anggap sebagai kakak kandung walau perasaannya kadang menolak kenyataan itu. Vano pun diam nampak ikut tertegun mendengar kalimat akhir cewek di sampingnya itu. Mereka saling lirik sebelum Vano meresponnya.
"Lo nggak pulang naik angkot tiap hari, kan?" kata Vano. "Lo dianterin sama Arthur terus, kan." ucapnya finish.
Aura diam. Memang jawaban Vano mengakhiri obrolan pagi ini. Aura pun kembali menatap jalanan di depannya. Tidak memakan waktu lama mereka sampai di gerbang sekolah. Gerbang sekolah nyaris ditutup oleh Pak satpam sekolah. Mungkin, jika Vano tidak mengendarai mobilnya dengan ngebut, mereka sudah dihukum menyapu seluruh sudut sekolah.
Jadi, berterimakasihlah pada Vano, Ra.
Mereka berjalan menuju kelas mereka masing-masing setelah Aura ikut memarkirkan mobilnya di parkiran khusus mobil. Tidak luas, yang memakai mobil juga jarang sekali. Mereka melewati koridor utama bersama. Terkadang Aura disapa oleh temannya yang tidak sengaja bertemu di koridor. Sedangkan Vano, ia hanya mendapat tatapan takjub oleh para fansnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]
Teen Fictiontersedia di shope atau tokbuk online di @naisastramedia dengan judul yang sama. (Pernah) #1 Sad ending Takdir kadang mempermainkan kita. Saat kita berharap akan berakhir seperti ini, takdir malah mengubahnya menjadi seperti itu. Ada juga temannya...