Siang ini Aura dibantu dengan Vira bersiap-siap merapikan rambutnya yang sudah berantakan selama ia tidur. Sesuai janji Arthur kemarin, ia akan mengantar Aura ke makam kakak kandungnya.
Isaac sudah diberitahu oleh Vira jika Aura akan pergi ditemani oleh Arthur, dan Isaac hanya menjawab iya. Melalui Telepon singkat, Vira tidak bisa melihat mimik wajah Isaac saat diberitahu jika ia tidak jadi menemani Aura. Namun dari helaan napasnya sudah terlihat jika Isaac kecewa.
Tunggu, tidak seharusnya Isaac kecewa.
"Tolong ambilin powerbank trus masukin ke tas gue, dong,"
Kini Aura sedang memoles sedikit bedak pada pipinya. Sedikit ber-makeup supaya tidak terlihat pucat. Walaupun wajah Aura masih terlihat pucat. Setelah selesai, ia menatap wajahnya di cermin yang tertempel pada tempat bedak.
Apakah ia akan tegar saat berada di sana?
Ia tahu, penyesalan akan muncul di akhir. Tapi penyesalan ini sungguh membuat dadanya sesak setiap mengingatnya. Ia tidak ingin mengingat. Namun apa pantas jika ia tidak mengingat kakak kandungnya?
Semua ini tidak lucu.
"Arthur udah nyampe, nih, mau masuk rumah sakit katanya," Vira menatap Aura sambil menggenggam ponselnya.
Aura menganguk dan beralih menatap cerminan dirinya. Aura bisa melihat bibir mungilnya masih terlihat pucat, walaupun ia sudah memoleskan sedikit lipsgols pada bibirnya, tapi masih tetap saja. Ia menghebuskan napasnya lalu merapikan alat-alat itu ke dalam kotak khusus makeup.
Setelah rapi, pintu kamar tampak terbuka. Vira dan Aura otomatis menaruh pandangan terhadap sosok yang membuka pintu.
Oh, tukang ojeknya sudah datang.
Arthur melangkah mendekati Aura. Arthur tampak santai menggunakan kaos polo dan celana jiens pendek serta jaket yang menutupi sebagian kaos. Arthur nampak bersemangat. Namun Aura yakin ia akan melemah saat Aura menangis nanti.
Aura tidak boleh menangis. Saat ini ataupun nanti jika ia bertemu dipusara kakaknya. Ia yakin ia adalah wanita yang kuat.
"Udah siap?" tanya Arthur dengan senyum yang mengembang.
Aura mengangguk mantap. "Siap!"
"Lah gue gimana? Lo bawa mobil, kan?" tanya Vira keheranan sendiri.
Arthur mengangguk. "Gue bawa mobil," katanya. "Lo nggak minta jemput pacar lo aja?"
Senyum Vira seketika mengembang. Dengan cekatan ia mengambil ponsel dan mengutak-atik ponselnya. Lalu ia menempelkan ponsel ke telinganya dan berbicara pada seseorang. Sudah sangat jelas ia menelpon Beny. Vira memutus sambungan dan meletakan ponselnya ke dalam saku jaketnya. Ia tersenyum menatap Aura dan Arthur.
"Gimana? Kak Beny bisa jemput?" tanya Aura.
"Bisa. Kalian duluan aja, gue mau pipis bentar trus nanti gue turun," ucap Vira tersenyum lalu bangkit dari sofa, meletakan tas Aura di meja.
Arthur mengangguk. "Yaudah, kita duluan, ya. Jangan pegang-pegang barangnya Aura! Apalagi nyolong,"
Vira mendengus menatap Arthur. "Lo pikir gue maling apa. Udah sana, jangain tuh Aura, jangan sampe lecet!"
Aura dan Arthur terkekeh bersama. Arthur membantu Aura yang akan melangkah menuruni tempat tidur. Merasa kakinya sudah menginjak lantai, ia memakai sepatu sandal yang sudah Vira siapkan tadi. Arthur menyangga Aura dengan sabar sampai mereka memasuki mobil dan menuju makam.
****
"Dia bakal ke sini, kok, bareng Arthur. Sebenernya bakal bareng gue, tapi gak tahu tiba-tiba Vira telpon gue kalau yang nemenin dia, Arthur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]
Teen Fictiontersedia di shope atau tokbuk online di @naisastramedia dengan judul yang sama. (Pernah) #1 Sad ending Takdir kadang mempermainkan kita. Saat kita berharap akan berakhir seperti ini, takdir malah mengubahnya menjadi seperti itu. Ada juga temannya...