24. Egois

1.6K 80 1
                                    

Ketokan pintu terdengar dari meja makan saat Aura sedang membuat susu untuk menemaninya belajar. Aura berhenti mengaduk susunya dan berjalan ke ruang tamu untuk membuka pintu. Di rumah hanya ada Aura dan Vano, papa dan mamanya pergi untuk menemui temannya yang baru pindahan.

Tok..tok..tok..

"BENTAR!"

Aura berseru saat ia di ruang tengah. Ia melirik jam dinding yang ada di atasnya menunjukan pukul delapan malam. Ia mengangkat sebelah alisnya heran mengapa ada yang datang ke sini malam-malam. Dibukanya perlahan pintu, melihatkan seseorang mengenakan kaos putih yang dibalut dengan jaket abu-abu tengah berdiri dan menatap Aura.

Hati Aura tiba-tiba sesak melihat cowok itu berdiri di hadapannya. Aura ternyenyum pahit menyambut Isaac. Ia membuka pintu lebih lebar dan maju selangkah untuk menyapa.

"Mau cari Vano?" sapa Aura. "Naik aja ke atas."

Isaac tersenyum kikuk sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya. Eh, gue mau ngobrol dulu sama lo."

Tuhkan. Hatinya makin sesak. Paru-parunya butuh oksigen saat ini.

"Please?" ucap Isaac bernada nanar.

Aura menimbang pikirannya lalu tidak lama ia mengangguk dan mempersilahkan Isaac masuk. Ia mengiringnya untuk duduk di sofa ruang tengah. Isaac masih saja terlihat kikuk.

"Apa?" tanya Aura to the point.

"Maaf," kata pertama yang terucap membuat Aura mencelos. "Gue gak berharap perasaan gue berbalas. Gue cuma mau jujur sama perasaan gue." lanjutnya semakin membuat oksigen di ruangan ini habis.

Aura diam menunggu kelanjutan cerita cowok di depannya ini. Namun sepertinya obrolan kali ini hanya berakhir seperti ini. Aura pun mengangguk. "Maaf juga karena keegoisan gue, lo makin terpuruk," kata Aura menatap Isaac. "Gue belum tahu perasaan gue selama ini. Jadi, maaf gue belum bisa balas perasaan lo, Kak," ujarnya sambil tersenyum.

Isaac mengangguk dan tersenyum lebar. "Jadi kita gak diem-dieman lagi, ya?"

Awalnya Aura ingin menggeleng dan memakinya karena setiap melihatnya oksigen selalu habis. Tatapannya membuat ia terbunuh secara perlahan. "Iya,"

Isaac menghembuskan napasnya lega. Satu diantara pikirannya sudah selesai. Ia tidak punya rasa bersalah lagi pada Aura, walaupum ada rasa bersalah yang lebih besar dari pada itu. "Yaudah, gue ke atas dulu." ucapnya lalu bangkit dan menaiki tangga.

Aura menatap punggung Isaac yang pergi meninggalkan keheningan bersamanya. Apakah Aura yang terlalu egois atau perasaannya lebih mementingkan ego? Dengan kata-kata yang Isaac bilang tadi, Aura sadar. Bahwa dirinya egois. Dirinya tidak memikirkan Isaac yang dengan susah payah memendam semuanya. Semuanya. Termasuk perasaannya pada Aura.

Aura kembali ke meja makan mengambil susunya yang sudah dingin dan membawanya ke kamar. Sampai di kamar, ia meletakan gelas susu itu di meja belajarnya. Matanya beralih memandangi novel Rindu yang dibeli oleh Arthur tadi.

Terbesit pikiran di otaknya bahwa selama ini ia egois. Ia tidak mengerti perasaannya yang mengatakan bahwa ia tidak mempercayai kata yang diucapkan Isaac. Perasaannya selalu mengatakan bahwa Aura tidak memiliki masa lalu. Perasaannya menutupi keingin Aura untuk mengetahui tentang masa lalu nya.

Dan ia sadar. Isaac pernah mengisi kekosongan hatinya. Dulu.

Arthur? Ia juga sama-sama mengisi harinya setiap hari. Ia jadi merasa bersalah pada Arthur. Dulu, katanya, Aura meninggalkan Arthur tanpa alasan. Tanpa pamit. Tanpa melambaikan tangan tanda perpisahan. Dan Aura datang lagi dengan perasaan yang menutupi kenyataan itu.

Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang