27. Khawatir

1.4K 81 1
                                    

Arthur dengan penuh rasa yang campur aduk menjemput Vira. Sesudah ada kabar bahwa Aura dibawa ke rumah sakit, Arthur langsung menghubungi Vira. Karena Arthur pikir, Vira adalah orang yang harus pertama kali dikabarkan, mengingat ia sahabat Aura. Rasa santai pun menjelma menjadi rasa khawatir karena kabar yang dikabarkan Vano.

Sangat khawatir. Namun ia harus hati-hati juga. Setelah dengan kecepatan penuh menyusuri jalanan kota untuk menuju rumah Vira, sampailah ia di halaman rumahnya. Vira sudah siap dengan kaos hitam dengan setelan jiens serta rambut yang digerai, berdiri sengaja menunggu Arthur menjemput. Tanpa perlu diperingatkan, Vira berlari masuk mobil.

"Thur, tenang. Jangan panik gitu,"

Arthur yang mulanya fokus pada jalanan di depannya pun menoleh dengan wajah kerasnya. Vira yang melihatnya jadi ngeri.

"Lo bisa tenang saat sahabat lo masuk rumah sakit?"

Arthur kembali menatap jalanan di depannya. Vira juga beralih menatap kios buah di sisi trotoar yang mereka lewati. Di sepanjang perjalanan, mereka memilih diam, tidak ada satu pun yang membuka mulut. Keheningan sukses membunuh mereka dengan bonus kecanggungan yang terbentuk saat itu.

Vira sangat cemas dengan keadaan sahabatnya, tapi, ia masih ingin hidup. Ia masih ingin melihat sahabatnya pulang dari rumah sakit dan tersenyum ke arahnya. Sementara Arthur, matanya fokus menatap jalanan di hadapannya. Tapi pikirannya melayang jauh.

Tak lama kemudiam, mereka sampai. Gedung putih tersebut nampak ramai penjenguk. Setelah mobil terparkir, mereka langsung menghambur masuk ke dalam rumah sakit. Mereka sangat khawatir dengan keadaan Aura sampai mereka tidak menanyakan dimana kamar Aura pada Vano ataupun petugas ruang informasi. Mereka pun celingukan.

"Thur, tungguin gue kek. Main tinggal aja!"

Vira berseru sambil berusaha menyamakan langkah lari kecil Arthur. Arthur tidak merespon. Ia hanya mendengar dan tidak berniat merespon apa-apa. Hanya Aura yang ada di pikirannya saat ini. Hingga ekor matanya melihat Vano duduk di depan ruangan di dekat lift.

"Kak, gimana sama Aura? Baik-baik aja, kan?" Vira langsung duduk di samping Vano dan mengelus pundaknya.

Vano terisak. "Ini salah gue. Ini salah gue!" Vano nampak histeris. "Ini salah gue yang gak ngasih tahu Aura tentang masa lalunya. Ini ... ini salah gue! Isaaac...," nadanya mulai bergetar, tangannya mulai mengepal. "Coba kalau dia gak ngasih tahu Aura secepat ini, gue gak perlu duduk di sini. Ini salah dia!"

Vira yang awalnya ingin menyemangati jadi ngeri sendiri. Ia bisa melihat kepalan tangan cowok di sebelahnya makin kuat. "Ini bukan salah siapa-siapa," kata Vira akhirnya. "Kalau Aura gak tahu sekarang, dia bakal lebih terbebani, Kak,"

Vano mendongak, lalu kembali menunduk. Arthur tidak bisa berbuat apa-apa saat ini. Vano sedang emosi, jadi ia hanya cukup diam bersandar di tembok sambil berdoa jika cewek yang ada di dalam ruangan itu akan baik-baik saja. Doanya sangat kuat. Bahkan melebihi doa untuk dirinya sendiri. Ia tidak mau kehilangan orang yang ia sayangi untuk kedua kalinya.

Arthur benci kata hilang.

Tidak lama hening menembus atmosfer, seorang pria berusia 50an keluar dari balik pintu dan menutup pintu dengan hati-hati. Semua yang menunggu jadi berdiri dan memandang dokter dengan penuh harap. Grace dan Heru yang duduk di bangku kiri pun ikut bangkit dan langsung menanyakan keadaan anak gadisnya.

Dokter hanya tersenyum dan balas menatap orang tua Aura, tenang. "Anak ibu sedang masa koma. Bisa dijenguk secara bergantian," kata dokter itu. "Ibu dan Bapak bisa ke ruangan saya? Ada yang ingin saya sampaikan."

Grace dan heru saling berpandangan sesaat lalu akhirnya mereka mengangguk. Grace dan Heru langsung mengekor dokter ke ruang yang dokter maksud tadi. Sementara Vano, Arthur, dan Vira, mereka masih berdiri menatap dokter tersebut makin jauh. Vira langsung duduk ke bangkunya dengan resah.

Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang