26. Fakta

1.5K 80 1
                                    

Congrast, Ra.

Kata-kata yang Isaac lontarkan ketika Aura dan Arthur bergandengan masih saja bertahan di otak Aura. Rasa bersalah pun semakin betah tinggal di dalam pikiran Aura. Seharusnya Aura sudah meminta maaf dan menjelaskan semua pada Isaac sepulang sekolah tadi. Namun Aura telah memutari sekolah hingga tempat Isaac biasa ngumpul dengan kakaknya tidak terlihat.

Aura sebenarnya ingin ke kamar sebelah dan menanyakan beberadaan Isaac karena kakaknya itu baru saja pulang. Tapi, Aura mengingat lagi kejadian memalukan yang dilakukan kakaknya karena ia menanyakan Arthur dengan kakaknya. Aura malu saat itu. Maka, ia tidak jadi ke kamar sebelah.

Aura menatap langit-langit kamar dengan gelisah. Setelah Aura tiba di rumah, langit berubah jadi mendung, akan menumpahkan isinya. Terbesit kenangan manisnya dengan Arthur beberapa pekan lalu. Ia bahagia sekali menikmati hujan untuk pertama kalinya. Tapi, di saat gelisah seperti ini, ia juga memikirkan reaksi Arthur saat ia mengatakan jika ia baru pertama kali berasa di bawah guyuran hujan.

Aura makin gelisah. Apa hanya dia yang berada di saat yang sulit dipahami ini? Jika benar ia pernah berada di masa lalu dengan Arthur dan Isaac, mengapa ia tidak mengingatnya sama sekali? Bahkan ketika mereka mulai menceritakan kenangan bersamanya, ia hanya bisa mengangkat sebelah alisnya, mendengarkan sampai selesai, dan memahami arti dibalik cerita tersebut.

Tiba-tiba ponsel Aura bergetar. Ia terlonjak kaget ketika pinggangnya bergetar karena ponselnya ada di balik pinggangnya. Ia mengernyit ketika melihat caller id Arthur terpampang.

"Halo?" Sapa Aura.

"Lo nyari Isaac?"

Aura tertegun di balik telepon. "Kok lo tahu?"

Arthur terkekeh samar, tapi Aura masih bisa mendengarnya. "Lo itu sahabat gue dari kecil, Ra. Rasanya tuh, gue ada di sebelah lo dan denger semua pikiran lo."

"Kok ngeri, ya?"

Arthur kembali terkekeh. "Gue Line aja alamatnya."

****

"Hai, Ro," ucapnya sembari menaburkan bunga ke atas gundukan tanah yang masih terbekas taburan bunganya beberapa hari yang lalu. "Kenapa gue gak bisa jadi Isaac yang dingin saat gue ada di sini?"

Isaac mengelus nisan tersebut seperti biasanya jika ia mengunjungi makam sahabatnya. Ia menatap gundukan tanah yang tidak berarti. Langit mendung, dan akan menumpahkan isinya ke bumi. Isaac tidak peduli itu. Isaac hanya ingin mengeluarkan isi hatinya pada sahabat lamanya itu.

"Gue belum bisa ikhlas, Ro," ucapnya. "Perih banget lihat Aura gandengan sama Arthur," terbesit sesak di dadanya ketika ia berpapasan dengan orang yang selama ini ia sayangi secara diam-diam. Bertambah sesak lagi karena tangannya terkait dengan tangan Arthur dan Arthur nampak menggenggamnya kuat.

Rintik air mulai berjatuhan. Masih sedikit air yang tumpah. "Gue jadi kangen lari-lari di bawah hujan sama Chika, Ro," lagi-lagi kenangan kembali muncul di benaknya.

Ketika dulu ia berlari bersama Chika di bawah hujan, mereka nampak tersenyum lebar sekali menikmatinya. Chika selalu merentangkan tangannya dan wajahnya mendongak menatap langit. Wajah mungilnya tertampar jutaan tetes air hujan saat itu. Isaac melihatnya hanya tersenyum puas.

Isaac juga rindu seruan Arro yang menyuruh Chika untuk pulang dan jangan terus bermain hujan. Isaac selalu terkekeh ketika Arro berseru sambil membawa tongkat sapu berniat memukulnya. Chika juga selalu terkekeh melihat kakaknya mengejar Isaac dibawah guyuran hujan. Kenangan itu perlahan membuat dada Isaac sesak.

Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang