Sudah beberapa hari Aura memejamkan matanya, enggan untuk membuka atau sekedar melirik. Mungkin sudah satu minggu ia ada dalam alam bawah sadarnya. Namun Aura tidak sendirian selama ia koma. Banyak yang ingin menemaninya atau hanya sekedar mengucap rindu sosok Aura di sekolah.
Setelah pulang sekolah, Arthur langsung ke rumah sakit untuk menemani Aura. Arthur sebenarnya lelah karena tadi pelajaran olahraga dan anak-anak disuruh lari memutari sekolah, melewati jalan yang mengelilingi sekolah. Jika diukur, bisa lima kilo sendiri.
Satu jam Arthur bermain ponselnya sambil duduk di samping Aura, Arthur pun mengantuk dan tidur di sisi Aura beralaskan lengannya sendiri. Arthur bermimpi jika saat ini ia sedang bermain hujan di sebuah taman yang dulu sering ia kunjungi bersama Chika. Begitu manis mimpinya hingga tidak sadar jika orang tua Aura masuk.
"Bangun, Nak," tepuk Heru membangunkan Arthur.
Arthur bangun dengan kaget dan menatap orang tua Aura kikuk, tidak enak sendiri. "Eh? Om?"
Grace dan Heru tersenyum. "Maaf kalau Tante ganggu kamu tidur," Grace menatap mata Arthur yang lelah. "Kamu nggak mau pulang?"
Arthur mengucek matanya gusar lalu menggeleng. "Enggak, saya mau nemenin Aura aja. Lagian saya udah bilang orang tua kalau mau nemenin Aura kok, Tante,"
"Serius? Mama kamu nggak nyariin?"
Arthur mengangguk mantap.
"Yaudah kalau kamu mau nemenin Aura," kata Heru seraya mengambil lengan istrinya. "Om sama Tante mau cari makan dulu, ya? Soalnya dari semalam belum makan."
Arthur kembali menggangguk sambil menyunggingkan senyum sopannya.
"Kamu mau Om bungkusin?" tanya Heru membuka pintu.
"Nggak usah, Om, tadi saya sudah makan di sekolah." Arthur tersenyum ramah. Walaupun ia berbohong jika selama di sekolah ia tidak makan bahkan jajan sekali pun. Ia melamun di kelas mengkhawatirkan Aura.
"Oh yaudah, titip Aura sebentar, ya," pesan Heru sebelum mereka keluar dari ruangan.
Arthur menghela napas kasar sambil memandangi mata Aura yang terpejam. Arthur rindu. Rindu Aura yang selalu pandai menyembunyikan semua masalahnya dengan senyum hangat. Kapan ia keluar dari alam sadarnya?
Kemarin malam, Arthur baru pulang ke rumah setelah jam sebelas malam. Itu juga kalau bukan karena paksaan Heru, Vira, dan Dimas. Tiga sekawan Arthur kemarin malam datang menjenguk Aura, lalu disusul gerombolan sahabat Vano datang. Ada Vira juga, karena di ajak Beny dan juga Vira ingin melihat Aura yang tidur.
Arthur menggenggam tangannya sambil senyumnya terukir. Harapan Arthur masih sama. Masih mengharapkan cewek koma ini sadar dan kembali tersenyum manis kepadanya. Mata Aura masih enggan membuka setelah banyak orang yang merindukan serta mengkhawatirkannya. Arthur makin cemas.
"Tolong bangun, Ra," tata Arthur. "Gue gak mau kehilangan lo lagi. Tolong lo bangun dan ketawa lagi. Gue kangen ketawa ngakak lo kalau lihat Vira digodain Pedro."
Suara elektrokardiograf menggema di ruangan ini. Seperti hampa udara. Percuma Arthur berkata bahkan berseru menyuruh Aura kembali ke alam sadarnya. Aura masih enggan menemuinya.
"Tolong bangun, Ra," kata Arthur makin mengeratkan genggamannya. "Gue ... belum siap kalau cinta gue harus bertepuk sebelah tangan. Ditolak gak masalah. Asal, lo jangan tidur kaya, gini, Ra. Sesak hati gue."
Arthur tercekat. Ia tidak bisa berkedip bahkan bernapas. Jantungnya seperti berhenti berdetak. Tangan lemas yang digenggamnya mulai bergerak membalas menggenggam tangan Arthur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]
Teen Fictiontersedia di shope atau tokbuk online di @naisastramedia dengan judul yang sama. (Pernah) #1 Sad ending Takdir kadang mempermainkan kita. Saat kita berharap akan berakhir seperti ini, takdir malah mengubahnya menjadi seperti itu. Ada juga temannya...