Sepulang sekolah, Aura langsung mencari Vano ke seluruh penjuru sekolah barunya itu. Sebenarnya bukan hal biasa jika ia harus mengelilingi setiap sudut sekolah hanya untuk mencari kakaknya dan mengajaknya pulang. Kalau hari ini bukan hari pertama ia masuk sekolah, ia sudah pulang duluan naik angkot atau ojek. Akhirnya di parkiran sekolah Aura baru bisa menemukan sosok Vano.
"Yuk, pulang sekarang! Gue bisa bakar ini sekolah kalau gue masih di sini dalam waktu lima menit ke depan."
Hari ini Aura merasa sial. Entah karena apa, suasana hatinya begitu buruk. Mungkin kekesalannya hari ini karena cowok papan triplek yang mirip bangke monyet mulai hadir dalam hidupnya. Argh, jika dibayangkan, rasanya Aura ingin menelan cowok itu saat ini juga.
Beny mengerutkan dahinya. "Adik lo sehat, No?" tanya Beny pada Vano yang bersandar pada tembok pembatas parkiran dengan koperasi.
"Anterin pulang!" ucap Aura yang tangannya bersilang di dadanya.
Padahal Vano rencananya akan nongkrong di warung Mbak Jum di sebelah sekolah bersama para sahabatnya. Namun, seperti panggilan alam yang menyebalkan menunggu Vano. Dan ... mau tidak mau, Vano harus mengurusnya.
"Gue nangis nih jalau gak ada yang nganter gue pulang?" Aura kembali merengek.
Sebenarnya sahabat Vano sudah tahu trik macam ini. Tentu juga sudah sering mereka menghadapi rengekan Aura. Tapi yang paling terlihat masa bodoh adalah Isaac.
Isaac Muntahar juga salah satu sahabat Vano. Kali ini terlihat berbeda. Mereka jarang bersama. Maksudnya jarang berkomunikasi. Entah apa awal mula yang menyebabkan mereka kurang berkomunikasi. Vano dan Isaac bersahabat sejak kelas tujuh. Paling awal dan paling lama. Pernah bahkan sering Isaac bermain ke rumah Vano untuk bermain PS. Tapi yang menyebabkan orang-orang heran dengan Isaac, ia tidak mau terlihat bersahabat dengan Vano walaupun di sekolah ia sudah dikenal bersahabat dengan Vano.
Aneh jika dipikirkan.
"Hentikan," Adit mulai lebay. "Kalau gak ada yang mau nganterin inces, gue aja."
Inces. Panggilan super alay itu sudah menjelma saat Adit main PS di rumah Vano setahun yang lalu. Tidak ada angin tidak ada badai, Adit selalu memanggil Aura dengan kata inces.
Beny mendengus geli. "Bangke bikin jijik mulu,"
Beny Alansyah. masih salah satu sahabat Vano yang masih setia dari kelas sepuluh. Pencinta bakso, tapi hobi keselek bakso. Pemilik jurus andalan mematikan. Yakni, melawak garing.
Sungguh malang nasib Beny.
"Sama gue aja kalo Vano nggak mau nganterin." jawab Isaac santai.
Mereka berempat melongo tak percaya. seorang Isaac Muntahar yang pendiam, sok dingin, irit ngomong, nggak doyan cewek seperti Adit, mau nganterin pulang cewek? Ada apa ini?
"BIKIN TUMPENG SECEPATNYA!"
"PANGGIL JUGA TETANGGA SEBELAH RUMAH ISAAC!"
"Omegat astaga dahula hula hola cetar badai halilintar boboyboy tanah air udara avatar gusti pangeraaaan, Lo kesambet apaan Isaac-ku sayang? Lo masih sehat, kan?" kini giliran Adit si raja lebay mengomentari perkataan Isaac yang sangat langka didengar oleh seluruh manusia tumpah darah Indonesia---bahasa Adit
"Biasa aja kali!" Isaac menoyor kepala Adit, Beny, dan Erik secara bersamaan. "Gue cuma nawarin Aura pulang. kalo Aura nggak mau gue anter, ya udah mending gue pulang." jawaban datar dari Isaac.
"Eh, gue mau!" kata Aura. "Dari pada gue dianterin pulang tapi nggak ikhlas, bisa-bisa gue nggak sampai rumah dengan selamat."
Vano mengelus dadanya. "Astaga, kuatkan hati hamba, ya Allah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]
Ficção Adolescentetersedia di shope atau tokbuk online di @naisastramedia dengan judul yang sama. (Pernah) #1 Sad ending Takdir kadang mempermainkan kita. Saat kita berharap akan berakhir seperti ini, takdir malah mengubahnya menjadi seperti itu. Ada juga temannya...