"Gue pergi dulu, ya?" Isaac duduk di samping Aura yang sedang menatapnya nanar.
Aura tidak bisa berpikir lebih dewasa. Dia ingin Isaac selalu berada di sampingnya. Ia ingin Isaac selalu menemani hari-harinya. Aura memang egois. Aura juga tahu Isaac menyayanginya dari dulu. Namun hatinya lebih mengarah pada sudut hati milik Arthur. Walau Aura juga tidak tahu apakah disudut lain terdapat wanita lain di hatinya.
Pagi ini Isaac menemui Aura untuk berpamitan. Agar lebih enak dan lebih nyaman, Isaac mengajak Aura ke kafetaria rumah sakit. Di rumah sakit ini banyak terdapat taman. Seperti kafetaria ini letaknya di samping taman. Walau suasana berubah, sejuk semilir angin bisa membuat suasana berubah sedikit. Hanya sedikit tapi sangat bermanfaat.
Aura masih menatap Isaac. Begitu juga dengan Isaac, ia masih menatap Aura dengan tatapan untuk menyakinkan. Sebenarnya Isaac juga tidak mau pergi. Ia tidak mau berada jauh dari sisi Aura. Ia juga sebenarnya tidak mau jika hati Aura berada di hati Arthur. Tapi, demi kebahagiaan Aura, Isaac rela.
"Kenapa tiba-tiba banget?" tanya Aura gemetar.
Isaac tersenyum lesu. "Papa juga bilangnya Senin. Terus kemarin aku sibuk beres-beres. Baru kali ini aku bisanya"
Aura menggeleng. Kini air matanya sudah membendung di pelupuk matanya. Ia tidak tahan. "Kenapa jauh banget, sih?" tes... Air matanya sukses menetes. "Ke--kenapa lo, hiks ... gak b--bisa nemenin, hiks ... gu--gue?" tanya Aura gagap.
Isaac tidak sanggup melihat cewek di sampingnya ini menangis. Kafetaria bisa dibilang sedang ramai saat ini. Tapi bukan malu yang ia pikirkan, tapi keadaan Aura yang semakin tidak bisa melepas dirinya untuk pergi.
Seperti beribu pisau dan belati yang menusuk dada Aura. Rasanya sangat sakit. Ia sebelumnya tidak pernah merasa seperti ini. Akan ditinggal dengan seseorang yang selalu berada di sisinya. Orang yang selalu mengingatkan akan hal yang Aura lupakan. Memori itu terus datang bergilir hingga Aura benar-benar merasa ia tidak mau kehilangan sosok Isaac.
"Jangan nangis, ish!" ucap Isaac menghapus air mata Aura. "Gue cuma beberapa bulan doang. Gue pasti balik lagi" Isaac memegang bahu Aura dan menatapnya lamat lamat.
Aura masih terisak. Beberapa bulan itu tidaklah sebentar. Beberapa. Akan ada banyak angka yang mendeskripsikan kata beberapa. Satu hari menunggu ia akan menjalankan operasi saja baginya sudah lama. Apalagi harus menunggu seperempat hatinya yang ia titipkan pada Isaac?
Isaac yakin dengan semua kata perpisahannya. Ia akan pergi ke Medan dan tinggal di sana beberapa bulan. Sebenarnya akan sangat lama. Mengingat papanya yang sangat keras kepala. Tapi ia yakin, ia akan pulang menemui Aura yang sudah kembali normal seperti biasanya. Walau hatinya juga tidak bisa kembali normal dan membuka gerbang hatinya untuk jalan masuknya.
"Berarti lo nggak bisa nemenin gue operasi?" tanya Aura. Isakannya mereda. Namun air mata tidak kunjung surut.
Isaac tersenyum. "Kan gue selalu ada di hati lo." senyum Isaac makin lebar. "Lagian ada Arthur, kan"
Kalimat itu semakin menusuk Aura. Kalimat sederhana yang Aura tahu akan ada banyak makna dibalik itu.
"Trus gue harus kehilangan sosok sahabat yang selalu ada di samping gue gitu?" Aura mengusap air matanya.
Kini hati Isaac yang tertusuk belati tajam. Sahabat. Ia akui jika ia hanya sebatas sahabat bagi Aura. Sahabat yang selalu menawarkan pundaknya ketika Aura tidak mempunyai sandaran untuk bersandar. Ia tahu jika itu adalah sandaran sementara saat Arthur sibuk dengan dunianya. Tapi tidak ada kata lain untuk menjelaskan apa isi hatinya?
"Udahan lah nangisnya," ucap Isaac kembali mengusap air matanya. "Air matanya disimpen buat gue pergi nanti malem aja. Eh, jangan ding. Waktu gue pergi nanti malem, lo jangan nangis loh!" Isaac menatap Aura sendu. "Lo harus jadi cewek tegar waktu gue pergi ke Medan nanti. Gue bakal nyewa mata-mata buat ngawasin lo. Jadi kalo lo nangis, tuh mata-mata nelfon gue dan gue nggak mau ketemu lo lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]
Teen Fictiontersedia di shope atau tokbuk online di @naisastramedia dengan judul yang sama. (Pernah) #1 Sad ending Takdir kadang mempermainkan kita. Saat kita berharap akan berakhir seperti ini, takdir malah mengubahnya menjadi seperti itu. Ada juga temannya...