"Widih, ditolak sakit banget, ya?"
Isaac langsung ke kantin setelah mendengar bunyi bel yang nyaring. Karena ia tidak sekelas dengan sahabatnya, pastilah sahabatnya sudah datang ke meja kantin duluan. Benar, Vano, Adit, Erik, dan Beny sudah duduk manis sambil menyantap makanan mereka ketika Isaac mulai mendekati meja.
Isaac hanya mendengus geli dan duduk di samping Beny. Ia sempat melirik Vano sebelum ia duduk, Vano nampak menatap gelas es tehnya dengan lesu. Biasanya, jika Isaac disangkutpautkan dengan Aura, Vano lah yang paling antusias setelah Adit.
"Gue lihat, loh, lo nungguin Aura di depan kelasnya," sahut Beny sambil memasukan batagor ke mulutnya. "Terus lo ditolak?"
Isaac melotot pada Beny, Beny pun hanya terkekeh. Adit malah heboh. "Di tolak? Jangan bilang lo nembak Inces." ada nada selidik dibalik ucapan Adit.
Erik yang sedang meneguk air mineralnya jadi tersedak dan batuk. "Ha?" katanya. "Lo nembak Aura? Demi...,"
Isaac menggeleng cepat. "Apaan sih lo pada," ia mendengus geli dan mencomot gorengan di hadapannya tanpa peduli milik siapa. "Gue nggak nembak Aura."
Isaac melirik Vano yang masih diam. Ia bisa melihat Vano nampak menghela napas, lalu kembali menatap gelas es tehnya.
"Lo kok tahu gue nungguin Aura di depan kelas?"
Beny nyengir kuda saat cowok di sampingnya ini bertanya. "Ceritanya gue mau nyamperin Vira. Tapi, gue lihat lo di pintu, yaudah gue lihatin aja dari jauh."
Isaac mendengus geli. Sedangkan Adit, ia membulatkan matanya dan melempar Beny dengan cuilan gorengan.
"Apaan sih, lo?" Beny memberontak.
"Lo seriusan sama Vira?"
Beny mengendikan bahunya lalu meneguk teh kotak yang ia beli. Adit pun tidak melanjutkan aksi hebohnya dan memilih memakan gorengan yang tersisa di atas piring. Isaac melirik Vano sekali lagi, Vano masih menatap nanar es tehnya. Sebenarnya ia ingin bertanya kenapa Vano bisa diam seperti ini. Apa ini salahnya?
"Lo kok diem aja?" tanya Erik. "Kesambet setan mana lo?"
"Gue duluan."
Vano langsung bangkit berdiri dan meninggalkan mereka dengan tatapan heran. Bukannya mencegah atau memanggil, sahabatnya malah menatap punggung Vano yang makin tidak terlihat tenggelam dalam kerumunan para murid.
Isaac menghela napasnya dalam-dalam. Mungkin ini kesalahannya.
****
"Cepetan, ish! Keburu angkotnya pergi,"
Aura berseru dari meja paling pojok dekat dengan pintu kelas. Hari ini bagian Vira untuk piket kelas. Dan seperti biasa, Aura menunggu Vira menyelesaikan piketnya dan pulang bersama. Tapi entah kenapa, Aura merasa ingin cepat-cepat pulang. Maka, ia menyuruh sahabatnya ini untuk cepat agar ia bisa pulang.
"Bangke!" umpat Vira menyerok sampah ke serokan. "Ini udah maksimal."
Aura mendengus geli sambil terus menyuruh Vira untuk cepat menyapu. Vira justru melakukan hal yang sama. Ia mendengus geli dan menyuruh Pedro untuk cepat menyapu sampahnya agar ia bisa menyeroknya dan dibuang ke tempat sampah. Tapi Pedro malah melambatkan pekerjaannya.
"Sengaja banget dileletin, anjir."
Pedro mendongak menatap Vira sinis. "Cowok kalau nyapu tuh pelan, biar bersihnya maksimal."
"Diem, Ish!" Chinara berseru dari kursi guru seraya memijat pelipisnya. "Gue lagi pusing, nih!"
Pedro beralih menatap sang ketua kelas sinis. "Kalau pusing, pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]
Teen Fictiontersedia di shope atau tokbuk online di @naisastramedia dengan judul yang sama. (Pernah) #1 Sad ending Takdir kadang mempermainkan kita. Saat kita berharap akan berakhir seperti ini, takdir malah mengubahnya menjadi seperti itu. Ada juga temannya...