"MA, AKU BERANGKAT DULU YA!"
Suara cempreng milik gadis berseragam putih-biru itu terdengar nyaring di ruang makan. Ia berlari dengan tergesa-gesa melewati meja makan, tanpa menghiraukan kakaknya dan ibunya yang sedang duduk menikmati sarapannya. Melihat anaknya mengacuhkan posisinya di meja makan, Grace, ibu gadis tersebut bersungut-sungut dan memandang sinis anaknya. "Main kluyur-an aja, sih. Nggak mau mama kasih uang saku?"
Gadis itu berhenti, lalu berbalik. "Ah Mama...," ucapnya. "Aura takut telat, Ma...,"
Namanya Aura Adina. Cukup dipanggil Aura saja. Gadis ceroboh yang masih sangat kental dengan sifat kekanakannya. Aura kerap sekali dipanggil Boboh karena kecerobohannya sudah dikenal luas saat SMP. Kini gadis berbalut seragam putih biru akan memulai masa SMA-nya.
Aura sering juga disebut Kelinci oleh teman-temannya. Karena ke-aktif-annya yang benar-benar aktif, julukan itu sangat tepat untuk Aura. Aura sangat aktif layaknya kelinci yang tidak bisa diam di kandang. Dengan sifat itu, otomatis Aura murah senyum. Ia mudah bergaul dengan siapa pun.
"Berangkat sama Kakak aja. Lagian sudah satu sekolah, Kakak udah siap, kok." jawab Grace.
Mendengar itu, Aura melangkah gusar menghampiri ibunya. Dengan muka yang ditekuk, ia menjejeri kakaknya dengan lirikan pedas. Vano Verdino. Cowok tampan yang berstatus sebagai kakak kandung serta kakak kelas dalam kehidupan Aura.
"Cepetan, ish! Udah kesiangan, nih." ujar Aura bersungut sambil melirik jam tangan di pergelangan tangannya.
Cowok yang selisih dua tahun dari Aura pun memutar bola matanya, malas. "Ini masih jam enam lewat, Bawel," ucapnya. "Mau nemenin Pak Rubi dulu?"
Dengan kening yang berkerut, tangannya mengambil gelas susu kakaknya. "Siapa?"
"Pacar gue."
Dengan polos, Aura tersedak dan susunya menciprati seragam Vano.
"APA-APAAN ISH!" sontak, Vano berseru.
Aura nyengir kuda melihat kakaknya melotot. "Gak usah teriak kayak bencong deh," ucapnya meletakan gelas itu lagi. "Lagian, lo ngomong seenak jidat."
Grace yang sedang mengoleskan selai kacang pada roti pun melotot ke arahnya dan Vano. "Pagi-pagi udah ribut aja."
Kini giliran Vano yang nyengir kuda. "Mama baik banget deh bikinin aku roti," kata Vano. "Makin sayang, deh, sama Mama."
Grace hanya tersenyum jijik. Aura malah mendengus geli melihat tingkah kakaknya. "Buruan berangkat. Gak bisa sarapan gorengan di kantin, lho."
Grace tiba-tiba berhenti mengoleskan selai pada roti, lalu mendongak menatap anak pertamanya dengan sinis. "KAMU MAKAN GORENGAN PAGI-PAGI?"
Aura menyeringai. "Iya nih, Ma. Masa pagi-pagi makan gorengan dulu di kantin. Sampe telat masuk, loh, Ma."
"UANG JAJAN KAMU HARI INI NGGAK MAMA KASIH."
Vano terbelalak. "Ish, Mama apaan sih?" elaknya. "Vano nggak setiap hari makan gorengan, kok! Rara suka seenak pantat kalau ngomong, Ma."
Aura melotot.
"Enggak." senggah Grace. "Pokoknya hari ini Mama nggak kasih kamu uang saku. Sudah sana, berangkat."
Dengan muka yang ditekuk, Vano bangkit dan mengambil tasnya lalu melangkah keluar, tanpa pamit.
"NGGAK PAMIT, BESOK UANG SAKU NGGAK MAMA KASIH JUGA."
Vano mendengus kesal lalu berbalik menatap Aura yang sedang menahan tawanya. Ia mendekati ibunya dan mencium punggung tangannya. "Vano duluan. Dah," ucapnya lesu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Yang Hilang [SUDAH DITERBITKAN]
Teen Fictiontersedia di shope atau tokbuk online di @naisastramedia dengan judul yang sama. (Pernah) #1 Sad ending Takdir kadang mempermainkan kita. Saat kita berharap akan berakhir seperti ini, takdir malah mengubahnya menjadi seperti itu. Ada juga temannya...