Semilir angin menerpa wajahku. Sejuk, sangat menentramkan. Kuhirup udara pagi sebanyak-banyaknya. Hanya ini caraku untuk menikmati kuasa Tuhan.
Jujur, aku tak ingin seperti ini. Hanya duduk dan menghirup udara pagi yang dingin ini. Aku ingin beranjak dan berdiri. Melihat dan menjelajahi seluruh dunia. Mengeksplorasi surga-surga tersembunyi di Nusantara. Namun, kenyataan tak dapat kutolak. Tuhan berkata lain. Seluruh pandanganku gelap. Tak ada secercah cahaya yang menyelinap ke kegelapan itu. Aku ditakdirkan buta sejak lahir.
Ya, aku seorang gadis buta dengan impian omong kosong.
Aku terlalu kecil untuk mimpiku yang sebesar itu. Bagaimana mau menjelajahi dunia kalau berjalan masih menggunakaan tongkat? Aku tahu diri tentang hal itu. Tersadar, bahwa aku tak akan bisa menggapai mimpiku yang tergolong sangat kecil untuk manusia normal. Dan aku berhenti berkhayal sejak saat itu. Tentang mimpi-mimpiku.
Tanpa mimipi itu, hidupku jadi monoton. Bangun, pergi ke sekolah, pulang, mengerjakan PR, tidur, dan begitu seterusnya. Tak ada tantangannya. Membosankan. Namun, menurutku itu lebih baik daripada aku terus terlarut dalam mimpi-mimpi itu.
Meskipun Tuhan memberikanku cobaan yang begitu besar dan tak mengizinkanku untuk melihat dunia, namun aku masih memiliki orang tua yang sangat menyayangiku. Menerima kekuranganku. Aku tahu, mereka pasti sulit menerima keadaanku yang cacat ini. Tuhan memang adil. Aku masih bisa merasakan kasih sayang dari kedua orang tuaku.
Dan Tuhan memberikanku seseorang. Seseorang yang spesial. Seseorang yang membuatku tersenyum setiap harinya. Embun Kemala Sari. Sahabat yang juga mau menerima kekuranganku di saat teman-teman lainnya menjauhiku. Dia juga sering membantuku, menghiburku, sebagaimana seorang sahabat. Sungguh beruntung aku memilikinya.
"Senja!"
Oh ya, aku sampai lupa memperkenalkan diri. Namaku Senja Almira. Lebih suka dipanggil Senja, karena menurut orang-orang senja itu sangat indah, walaupun aku belum tahu senja itu seperti apa.
"Tumben banget datang ke rumah pagi-pagi." gumamku. "Ada apa?"
"Ke rumah salah, gak ke rumah diomelin. Maunya apa, sih?" gerutu Embun.
"Ye, gitu aja marah. Kan biasanya kamu datang sore-sore."
"Aku ikut Ayah lari pagi. Terus lewat rumahmu, jadinya mampir, deh."
Aku membulatkan mulutku. "Mana Ayahmu? Aku pengen ketemu."
"Katanya dia pulang duluan, tapi aku di antar kesini dulu sama Ayah." jawab Embun.
"Eh, ayo kita masuk! Bundaku pasti sudah selesai memasak sarapan." ajakku.
"Yah, masa udah bakar kalori nambah kalori lagi?" keluhnya.
"Ya udah, kalau kamu gak mau. Aku gak maksa, kok." Aku tersenyum jahil. Kita lihat seberapa kuat dia menahan godaan nasi goreng buatan Bunda.
Aku berdiri dan mengambil tongkat di sampingku. Embun ikut masuk ke dalam rumah. Dia menuntunku berjalan-meski aku bisa berjalan pakai tongkat, sih. Bau nasi goreng yang Bunda buat benar-benar harum. Tak terbayangkan bagaimana ekspresi Embun sekarang. Imannya pasti sedang goyah.
"Ya ampun, harum banget." gumamnya yang bisa kudengar. Gini-gini, pendengaranku tajam banget.
Embun berdecak. "Ah, aku ikut, deh! Masakan bunda emang bisa godain aku. Masa bodo kalau aku gemuk lagi."
Aku tertawa kecil. Tuh, kan, apa yang aku bilang. Masakan bunda itu gak ada yang bisa ngalahin. Cap jempolan, deh! Buktinya sudah kalian lihat sendiri.
"Eh, ada Embun. Ayo ikut kita sarapan!" ajak Bunda
"Hehe, iya, Bun. Bunda tau aja kalau Embun lagi laper." kekeh Embun.
"Bunda bisa lihat itu dari wajahmu."
Embun kembali terkekeh. Dia menuntunku lagi duduk di meja makan. Kami bertiga pun sarapan bersama. Ayahku pagi-pagi sekali sudah pergi ke rumah nenek. Katanya, nenek sedang sakit dan ingin bertemu Ayah.
Selesai sarapan, aku mengajak Embun ke kamarku. Embun membuka percakapan.
"PR matematika kamu udah selesai?" tanyanya.
"Udah, tapi belum aku tulis ke buku latihan. Masih dalam coret-coret." jawabku.
"Pinjem dong..." pintanya.
"Sudah kuduga. Ambil aja di meja belajar."
Embun bersorak kegirangan. Aku pun teringat sesuatu. "Eh, bisa kamu tulis jawaban itu di buku PR?"
"Bisa, Bos."
Tak ada percakapan lagi. Embun mungkin sedang fokus menulis. Namun, tiba-tiba saja dia bertanya.
"Eh, tau Guntur, kan?" tanyanya.
"Guntur anak basket itu?"tanyaku balik.
"Ya iyalah, mana ada lagi yang namanya Guntur selain dia." desis Embun. "Kemarin aku liat dia tanding basket. Ya ampun, sumpah, kayak liat dewa Yunani! Badannya atletis, tinggi, ganteng lagi! Terus, dia banyak menyumbangkan poin, loh. Three points shoot lagi! Dan lagi, blablabla....."
Aku hanya bisa diam saat Embun bercerita. Entah karena namanya yang sama seperti petir-yang membuatku terkejut setengah mati-jantungku langsung berdegup kencang saat mendengar namanya. Darahku berdesir hebat. Guntur Sentosa. Dari namanya saja, aku bisa tau dia pasti gagah dan tampan. Tapi, aku benar-benar penasaran seperti apa betul rupanya, bukan dari imajinasiku saja. Tanpa kusadari aku tersenyum saat kembali membayangkannya.
"Senja!" panggil Embun yang sontak membuatku kembali kaget.
"Astaga, kamu pengen aku mati jantungan? Aku kaget tau!" gerutuku.
"Salah sendiri, siapa suruh kamu ngelamun dengan tampang kayak kambing conge begitu? Dari tadi aku cerita gak kamu dengerin, makanya aku kagetin kamu." jelasnya. "Emang ngelamunin apaan, sih?" tanyanya kepo.
"Kepo banget, sih." Aku menjulurkan lidahku.
"Ih, sekarang kamu main rahasiaan sama aku, ya? Awas aja kamu!"
"Awas apa? Awas ada Sule?" tantangku. Aku tertawa puas saat dia tak kunjung membalas tantanganku.
"Ih, Senja nyebelin!!"
Meskipun begitu, detak jantungku makin tak karuan. Kenapa Guntur Sentosa membuatku seperti ini?
Apa.... aku sedang jatuh cinta?
tbc........
Hai!!
Ketemu lagi sama author. Maaf, ya, cerita sebelah gak author lanjutin karena gak dapet feelnya, hiks, hiks. Tapi, kalau cerita yang ini author lagi semangat banget buat nulis. Btw, suka gak sama cerita ini? Eh, ini bukan hasil plagiat, ya, melainkan dari hasil imajinasi liar author sendiri. Author mana berani plagiatin punya orang. Dan, jangan sampai ada yang berani plagiatin cerita aku ini. Atau azab neraka yang akan menunggu kalian. Hahaha *senyum devil*
Jangan lupa vomment-nya ya, readers yang baikkkkk......
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.