"Apa kamu pernah bermimpi?"
Mimpi. Ah, aku sudah lama menguburnya dalam-dalam. Pertanyaan Fajar sukses membuatnya bangkit kembali. Bangkit tanpa beban, tak sama seperti aku yang menguburnya setengah mati. Setiap detik, aku berusaha untuk menyingkirkannya dalam hidupku. Kurasa, aku akan membutuhkan kekuatan ekstra untuk melupakan mimpiku lagi.
"Ja? Kamu melamun?"
"Ah, gak, kok." Aku mengibaskan tanganku. Baiklah, aku akan mengalihkan pembicaraan ini. Aku tak mau mengingatnya lagi. "Oh ya, kamu udah pernah baca buku-"
"Kamu belum jawab pertanyaan aku, Senja." sela Fajar.
"Oh, tentang itu," Aku menghela nafas berat dan mengangguk. "Pernah, tapi aku berhenti di tengah jalan."
"Kok gitu? Mimpi itu ada untuk digapai, bukan?"
"Iya, tapi mimpiku terlalu tinggi untuk digapai."
Aku menghela nafas. Tanpa kusadari, aku menceritakan semuanya pada Fajar.
"Mimpiku sederhana. Melihat dunia. Ya... itu gak mimpiku aja, sih, tapi mimpi semua orang yang gak bisa liat. Waktu kecil, ayah sering mengajakku kesini. Membuka wawasanku tentang dunia. Dan itu membuat aku makin penasaran tentang gimana, sih, 'yang sebenarnya'? Apa sesuai dengan yang aku bayangin? Akhirnya, waktu aku umur dua belas tahun, aku ingin mewujudkan mimpiku. Aku ingin meminta ayah mencarikan pendonor mata untukku. Tapi,"
Aku mendesah. Tak kuat aku melanjutkannya.
"Tapi?"
"Tapi, waktu itu keuangan ayah menipis. Belum lagi waktu itu aku mau masuk SMP dan kakak aku mau kuliah di ITB. Pengeluarannya pasti besar. Dan aku baru tau, pendonor mata itu susah dicari dan biayanya sangat mahal. Sejak itu, aku gak mau lagi bermimpi."
"Meskipun sekarang ayahku udah menawarkan pendonor mata, tapi tetap aja aku gak bisa." sambungku.
"Kenapa gitu?"
"Aku gak mau merepotkan mereka. Mereka udah kerepotan sejak aku kecil."
Suasana hening untuk kedua kalinya. Baik aku dan Fajar, tak ada yang berbicara. Aku dibawa kembali ke masa lalu, tepatnya tiga tahun yang lalu. Ayah bahkan rela menjual mobilnya demi aku dan Kak Surya. Aku tak mau kejadian yang sama terjadi kembali, meskipun mereka yang memaksa untuk mewujudkan mimpiku.
"Non, ayo pulang. Sudah mau maghrib." Suara Pak Usman memecah keheningan di antara kami.
"Oh, iya, Pak." Aku mengemasi barang-barangku. "Maaf ya, tadi aku curcol."
Aku berdiri. Pak Usman membimbingku untuk berjalan. Percakapan tadi sungguh membuat mood-ku menurun drastis.
"Senja," panggil Fajar.
Langkahku terhenti, tapi aku tak berbalik.
"Maaf, kalau pertanyaanku tadi menyinggung kamu."
Aku tak menjawab dan kembali melangkah. Secepat mungkin, agar aku bisa cepat meninggalkan tempat ini dan melupakan kejadian hari ini.
***
Aku merebahkan diriku di atas kasur. Rasanya tubuhku remuk, padahal hari ini aku tak ada melakukan hal-hal berat.
Untuk kesekian kalinya, aku mengingat kejadian tadi sore di perpustakaan. Aku sama sekali tak menyangka jika Fajar membahas itu. Jujur, kali ini aku tak menyukai topik pembicaraan Fajar. Hal yang sudah kulupakan sejak lama, kini kembali teringat. Butuh waktu lama untuk kembali mengubur mimpiku itu.
Suara ponselku berhasil mengembalikanku ke alam nyata. Aku tak bisa menebak pemanggilnya. Mungkin itu nomor yang tidak dikenal. Akhirnya setelah pertimbangan yang cukup lama, aku mengangkatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.