#14 Fajar

725 51 4
                                    

"Senja, gue minta maaf buat tadi siang. Gue-"

"Udah dimaafin, kok." potongku cepat.

Feby memegang lenganku dengan kuat. Menahanku sampai aku benar-benar memaafkannya. "Ja, jangan begitu dong."

Alisku tertaut. "Jangan begitu gimana?"

"Lo beneran maafin gue, kan?" Sebagai jawabannya, aku mengangguk. Kudengar Feby menghela napas lega. "Syukur, deh. Eh, lo gak pulang?" tanya Feby.

Aku menggeleng. "Aku nunggu supir aku jemput kesini."

"Oh, kalau gitu, gue duluan ya."

Aku menghela napas. Awalnya aku kesal karena ditinggal begitu saja oleh Feby. Tapi, saat dia meminta maaf seperti itu, akupun tak tega lalu memaafkannya. Bel pulang sudah berbunyi lima menit yang lalu. Kalau Embun tak datang, aku akan menunggu Pak Usman di kelas. Aku lebih berani duduk sendirian di kelas daripada berjalan sendirian ke gerbang depan.

Di saat aku sedang asyik mendengar lagu, seseorang menarik lenganku dengan paksa. Aku yang mulanya kaget, hampir terjatuh karena kuatnya tarikan itu. Aku mencoba memberontak, tapi amarah orang ini lebih kuat. Tangannya semakin kuat mencengkram pergelangan tanganku.

"Lepasin!" teriakku.

"Mending lo diem aja! Gak akan ada yang denger teriakan lo itu!"

Seketika aku tercekat. Aku mengenal suara itu. Orang yang menarikku adalah Mentari. Otakku hanya mengeluarkan satu pertanyaan. Kemana dia akan membawaku?

Tubuhku dihempaskan ke dinding. Punggungku terasa remuk. Kudengar suara pintu ditutup. Napasku tertahan saat derap langkah milik Mentari mendekat ke arahku.

"Akhirnya kita bisa ngomong empat mata tanpa diganggu anjing penjaga lo yang sok tau itu."

Aku menggeram. Tanganku terkepal kuat. Berani sekali dia menghina Embun seperti itu. Di saat aku ingin melayangkan tanganku ke pipinya, aku lebih dulu merasakannya. Tangannya yang terasa halus itu menampar pipi kananku. Seluruh emosinya keluar melalui tamparan itu. 

"Apa? Sakit, hah? Itu gak sebanding dengan rasa sakit yang gue rasa!!" teriaknya kalap.

"Bagus ya, lo udah berani mengabaikan ancaman gue. Gue cuma kasih peringatan satu kali, Senja Almira. Jadi, kalau lo udah abaikan itu, berarti gue anggap lo udah siap sama perhitungan yang gue kasih."

"Gue udah tau kalau tadi pagi Guntur nembak lo. Dan gue juga tau lo nolak dia. Tapi yang bikin kuping gue panas adalah Guntur gak menyerah sama lo! Dia akan terus mengejar lo dan semakin mengabaikan gue! Lo cewek kan? Harusnya lo negrti sama perasan gue. Dia mengejar cewek di saat dia punya ikatan sama cewek lain!!"

"Sayangnya kamu bukan pacar Guntur, Mentari. Kamu gak ada ikatan sama dia." desisku tajam.

Mentari menarik kerah bajuku dan berteriak di depan wajahku. "APA LO BILANG?!" Sedetik kemudian Mentari menghempaskan tubuhku ke lantai yang basah dan dingin. Tak hanya sampai disitu, aku merasakan air dingin membasahi tubuhku. Aku baru tahu, Mentari membawaku ke toilet sekolah.

"Awas kalau lo berani cerita tentang pertemuan kita hari ini, Senja. Gue gak akan segan-segan untuk bersikap lebih dari ini." Suaranya sedingin angin malam. sebelum aku mendengar pintu ditutup, Mentari berujar. "Gue cuma minta untuk jauhin Guntur. Apa itu susah untuk lo lakuin? Dan...." Mentari menarik napasnya yang terasa berat. "Dan sebaiknya, lo menarik ucapan lo tadi. Itu salah besar."

Mentari meninggalkanku dengan kondisiku yang cukup buruk. Aku bahkan tak bisa merasakan apapun selain rasa sakit karena hempasan Mentari tadi. Belum lagi dinginya air itu seakan menusuk tulangku. Aku tak kuat untuk berdiri. Apa dengan berteriak orang akan mendengar dan menolongku? Apa masih ada orang di sekolah?

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang