#16 Guntur

658 43 4
                                    

"Ada gak cewek yang kamu sukai?"

"Ada."

"Siapa?"

"Cewek di depan aku sekarang."

JEDAR!!

Seperti petir di siang bolong, ucapan bernada enteng itu membuat kinerja jantungku berkerja berkali-kali lipat. Keringat dingin jatuh bercucuran. Aku berusaha mengatur ritme napasku dan deru jantungku yang tak karuan.

Oke Senja, tarik napas, buang perlahan. Tenang, Ja. Guntur aja nembak kamu gak begini amat efeknya. Arrrggghh, kenapa gak bisa tenang, sih?!

"Ja, apa pertanyaan kamu tadi. Aku gak denger."

"Hah?"

Seketika aku yang tadinya melongo karena kaget, kini melongo karena bingung.

"Bisa kamu ulangin pertanyaannya, Senja Almira? Aku gak denger."

Gubrak!

Oh, jadi tadi itu imajinasiku? Gila sekali! Mana mungkin Fajar akan menjawab pertanyaan tadi dengan seenteng dan setenang itu. Alih-alih mengalihkan rasa kagetku, aku membalas asal-asalan. "Ng...kamu punya novel braile gak?"

Seketika Fajar tertawa. "Pertanyaan macam apa itu?" ejeknya.

Aku menggaruk tengkukku yang sebenarnya tidak gatal. "Tinggal jawab aja apa salahnya, sih?" tanyaku pura-pura ketus.

Fajar terkekeh. "Aku gak punya, Miss Galak."

Aku hanya membulatkan mulutku. Setelah itu, kamarku menjadi lengang. Benar-benar lengang, bahkan sampai membuat suasana di sekitar kami menjadi canggung.

"Ja," panggil Fajar mengagetkanku.

"Astaga!" pekikku. "Aku kaget tau!"

"Maaf." jawabnya tak berdosa. "Nanti kita ke pantai aja, ya? Ke tamannya kapan-kapan aja."

Alisku tertaut. "Kenapa? Bukannya kita janji di taman?"

"Sunset lebih bagus disana, sekali-sekali refreshing gak ada salahnya, kan?"

Senyumku terbit. "Kamu mau liat sunset?"

"Masih ingat dengan 'menikmati senja bersama Senja'?"

Aku mengangguk. Tentu saja aku ingat. Disitulah aku mengetahui arti senja yang sesungguhnya. Senja yang sejak dulu tak aku pahami. Dan semua itu berkat Fajar.

Hening kembali menyapa. Entah kenapa topik yang biasa kami diskusikan tak cocok dengan situasi kami sekarang. Aku mendengar suara angin bertiup dengan kencang, sesekali petir ikut bersahutan. Sepertinya akan turun hujan. Jujur, dari aku masih kecil aku takut dengan suara petir. Oleh karena itu, aku meraih sesuatu yang bisa kupeluk. Namun, tanganku tak menemukan apapun.

"Kamu cari apa?"

Aku menggeleng.

"Muka kamu pucat, Ja."

Benarkah? Setakut itukah aku kepada petir? Belum sempat aku membalas ucapan Fajar, kudengar suara petir menggelegar. Aku berseru pelan. Keringat dingin bercucuran di sekujur tubuhku. Aku mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Kamu takut petir."

Itu terdengar seperti pernyataan, bukan pertanyaan. Fajar memegang kedua tanganku yang masih terkepal. Sesekali jempolnya mengelus tanganku untuk menenangkanku. Tapi, kurasa itu belum cukup. Dan untuk yang kedua kalinya, aku mendengar suara petir yang lebih besar daripada yang tadi. Aku berseru tertahan.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang