#29 Guntur

402 41 28
                                    

Hola!

Karena aku kelamaan update, aku amat sangat menyarankan kalian untuk membaca satu atau dua part terakhir sebelum part ini. Aku takut kalian bakal bingung dan kaget dengan part yang ini karena part ini lumayan jauh lompatnya. Tapi kalau ada yang mau langsung baca part ini juga gak apa-apa kokk, santai aeee.

Oke deh, maaf ya updatenya kelamaan and happy reading!!!! 💞💞

***

Hari demi hari terlewati dan kini hal yang paling kutunggu dalam seumur hidupku datang juga. Setelah operasi mataku yang dilakukan beberapa hari yang lalu, Dokter Tsania memutuskan untuk membuka perban di mataku fajar ini.

Ya, hari ini adalah hari perdanaku melihat dunia.

"Kamu sudah siap, Senja?"

Aku mengangguk. Tentu saja aku sudah siap. Aku sudah begitu sabar menunggu tibanya hari ini.

Perlahan namun pasti, kegelapan yang selama ini menemaniku mulai sirna padahal mataku masih tertutup. Awalnya aku terkejut. Dokter Tsania seakan tahu kondisiku, membukanya lebih pelan, membiarkanku beradaptasi. Setelah perban itu terlepas dari mataku, aku semakin tidak sabar untuk membukanya.

"Jangan langsung buka mata kamu, Ja. Buka perlahan," cegah Dokter Tsania.

Aku membuka mataku perlahan sesuai arahan Dokter Tsania. Saat seluruh cahaya itu sampai ke retinaku, aku merasa asing.

Aku seperti terlahir kembali sebagai manusia baru.

Keningku mengerut. Bingung karena keadaan. Siapa lima orang mengelilingi ranjangku? Benda ini apa namanya? Kenapa begitu banyak warna yang tertangkap di mataku ini?

Sampai akhirnya seorang wanita mendekatiku, diikuti seorang pria. Aku refleks mengucapkan, "Bunda? Ayah?"

Tangis wanita itu pecah. Dia memelukku erat. "Iya, ini Bunda, Sayang."

Aku membalas pelukannya tak kalah erat. Ayah, tanpa ikut bicara, ikut memeluk kami berdua. Ya, aku yakin pria yang memeluk kami adalah Ayah.

"Kakak gak boleh ikut pelukan, ya?"

Kami melepaskan pelukan dan aku mencari sumber suara. Seorang laki-laki tersenyum padaku. Tuhan begitu baik karena mau mengabulkan doaku, yaitu melihat senyum Kak Surya di saat aku bisa melihat dunia.

Aku membalas senyumannya dan merentangkan tanganku. Kak Surya mendekat dan memelukku.

"Kakak ganteng, tapi kok gak punya pacar?"

Kak Surya melepaskan pelukannya dan menatapku cemberut. "Awas aja, ya? Kakak bakalan punya pacar, ingat itu!"

Aku terkekeh. Tatapanku beralih pada seorang perempuan dengan pipi yang ingin sekali aku cubit. Tentu saja aku tahu siapa dia.

"Alvin mana, Bun?"

Bukannya menjawab pertanyaamku, Embun malah balik bertanya. "Secepat itu kamu tau aku, Ja? Gak ada pelukan nih? Aku udah siapin pelukan paling hangat sedunia."

"Kasih ke Alfa aja."

"Enak aja!"

Aku tertawa, "Sini, pelukannya buat aku aja."

Setelah itu kami berpelukan. Intuisiku tidak pernah salah, aku menebak keempat orang ini dengan tepat. Satu lagi tentu saja Dokter Tsania.

Lembaran hidupku yang baru, sudah resmi dibuka.

***

Ini bukan ilusi, apalagi mimpi. Ini benar-benar nyata.

Operasiku berjalan lancar. Tidak ada kendala berarti. Memang, pada awalnya aku takut. Namun, aku sadar ini mimpiku sejak lama dan aku harus mengalahkan rasa takutku, demi mimpiku.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang