"Rencananya, kapan kamu ke perpustakaan kota?"
Aku tersadar dari lamunanku. Pertanyaan Embun membuatku bingung. Kenapa tiba-tiba dia menanyakan itu? Bukannnya dia anti-perpustakaan?
"Aku disuruh buat makalah untuk remidi sejarah. Gak boleh cari referensi di internet, harus dari buku." jawab Embun kesal, seakan tahu pertanyaan di dalam otakku.
Aku membulatkan mulutku. "Palingan weekend, Bun."
"Hari sabtu aku jemput, ya? Kita ke perpus bareng."
Aku mengangguk. Sungguh aneh. Kali ini, giliran Embun yang menemaniku ke perpustakaan kota. Baru beberapa hari yang lalu aku menemaninya menonton pertandingan basket. Dengan ketidaksengajaan tentu saja.
"Senja, aku udah dijemput, nih. Aku pulang duluan, ya." ucap Embun.
"Oh, ya udah. Hati-hati."
Setelah Embun pergi, aku kembali termenung. Guntur mengatakan hal yang berbanding terbalik dengan Mentari. Jadi, kalimat mana yang harus kupercaya? Mentari atau Guntur? Aku membutuhkan jawaban. Agar hatiku tak terombang-ambing oleh ombak ketidakpastian.
Tunggu dulu, sejak kapan aku bisa sepuitis ini?
Sejak Mentari, Guntur dan Fajar datang ke hidupku tentu saja.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Intuisi milik Yura Yunita mengalun lembut. Aku tersenyum. Baru saja dia datang ke pikiranku, dia sudah muncul di ponselku.
"Halo Fajar?"
***
Aku duduk di teras sambil menunggu Embun. Lusa kemarin, aku juga sudah meminta Fajar untuk datang ke perpustaakan kota untuk membantu Embun mencari buku yang dia inginkan. Kalau Embun meminta bantuanku rasanya percuma juga, kan?
"Embun belum datang, ya?"
"Eh, Bunda. Belum nih. Katanya dia mau jemput jam tiga."
Bunda hanya ber-oh ria. "Bunda boleh tanya samakamu?"
Aku menautkan alisku. "Tanya apa, Bun? Tumben pake izin segala?"
Bunda berdeham. "Ada hal serius yang mau Bunda bilang. Rencana pendonoran mata kamu-"
"Apapun itu Senja gak bisa, Bun." potongku. Raut mukaku sudah berubah, bahuku melorot begitu saja. Kata 'pendonoran mata' itu seakan membuatku lumpuh seketika.
"Dengarkan bunda dulu!" Suara Bunda naik satu oktaf. Kudengar Bunda mengatur ritme nafasnya. Suaranya lebih lembut dari yang tadi. "Kamu harus segera menentukan pilihan kamu. Pendonor mata sudah kami dapatkan."
"Udah berapa kali Senja bilang, Bun? Senja gak bisa terima. Senja gak bisa." lirihku.
Bunda menghela nafasnya. "Kenapa?"
Kenapa?
Haruskah aku mengatakan hal yang sebenarnya pada Bunda? Bahwa anak sulungnya yang membuatku tidak mau mengambil kesempatan ini? Kesempatan emas yang tak akan pernah kudapatkan?
Aku menggeleng. Tidak, aku tidak bisa. Ini sama saja memperkeruh keadaan. Kak Surya pasti akan sangat membenciku jika aku memberitahu Bunda. Setiap hal yang menyangkut tentang pendonoran mataku, aku selau teringat ancaman Kak Surya. Lebih baik aku tak bisa melihat sama sekali daripada saat aku bisa melihat nanti, aku mendapat tatapan sinis kakakku.
TIN! TIN!
Tanpa sadar aku menghela nafas lega. Suara klakson mobil Embun menyelamatkanku dari pertanyaan Bunda. Tak lama, aku mendengar Embun datang. Menyapa Bunda lalu pamit dan izin membawaku pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.