#08 Senja

1K 51 4
                                    

"Jar,"

"Hm?"

"Sekarang udah jam berapa?"

"Jam 4.45. Emangnya kenapa?" tanya Fajar.

"Gak apa-apa." Aku menyandarkan kepalaku di meja. Aku sungguh bosan.

Seakan mengetahui keanehanku, Fajar bertanya. "Kenapa? Bosen?" Aku mengangguk mengiyakan.

"Gak biasanya lho, Senja si kutu buku bosan di perpustakaan. Kamu udah kena virusnya Embun, ya?"

Ngomong-ngomong, aku sudah bercerita pada Fajar tentang Embun yang dulu setia menemaniku membaca disini. Reaksi Fajar? Dia malah ingin bertemu dengan Embun. Katanya, dia penasaran dengan sahabatku itu dan ingin berkenalan dengannya. Dari penjelasanku, Fajar menyimpulkan bahwa Embun adalah orang yang menggemaskan.

Kenapa ruangan ini jadi sedikit panas, ya?

Aku tersadar dari fantasiku lalu menggeleng. "Terkadang, seorang kutu buku akan menghadapi yang namanya masa jenuh. Dan sekarang aku lagi mengalaminya."

"Sok puitis kamu, nak." Aku terkekeh pelan mendengarnya.

"Kalo kamu bosan, kamu mau ikut aku gak?"

Kepalaku terangkat. Aku mengeryit bingung. "Ikut kemana?"

"Ya, kamu bakal tau nanti." jawabnya misterius. "Kamu ikut atau gak?"

Aku berpikir sejenak. Aku baru kenal-atau tepatnya baru dekat-dengan Fajar. Menurut penilaianku, Fajar adalah orang yang baik. Orangnya easy going dan nyambung kalau diajak ngobrol. Tapi, hal yang kurang aku sukai darinya adalah saat dia mengungkit-ngungkit mimpiku. Prinsipku untuk tidak kembali bermimpi hampir goyah beberapa kali. Barusan saja, dia mengungkitnya lagi. Aku yang tadinya bosan, kini menjadi bad mood. Dan sialnya, Fajar pura-pura tak menyadarinya.

"Jadi ikut gak?" tawarnya mengacaukan lamunanku. Aku tak kunjung menjawab tawarannya. Entah kenapa aku sulit menjawabnya, tak seperti menjawab tawaran Guntur dengan mudah.

"Ya udah, deh, kalo kamu gak mau. Aku gak maksa, kok." Fajar jeda sebentar. "Kalo kamu mau pinjam buku Stephen Hawking lagi, telpon aja aku. Nanti kita janjian lagi disini."

Suara langkah kaki terdengar menjauh dariku. Aku menggigit bibir. Tak lama, ponselku berdering. Pak Usman menelponku.

Ha-

"Halo, Pak Usman! Nanti jangan jemput Senja di perpustakaan ya. Sekitar jam setengah enam nanti telpon Senja balik, biar Senja bisa kasih tau dimana Senja nanti. Pokoknya Pak Usman gak usah khawatir, Senja bakal baik-baik aja. Makasih, Pak."

Aku buru-buru memutuskan sambungan telpon. Bukan bermaksud kurang ajar, tapi aku harus menyusul langkah Fajar meski aku harus meraba jalan di depan dengan tongkatku. Aku terus memanggil namanya, meski aku akan mendapat tatapan horor penjaga perpustakaan dan pengunjung lainnya.

***

Aku menggigit bibirku sambil memegang ujung jaket Fajar dengan kuat. Ini kali pertama aku naik sepeda. Selain tidak diizinkan ayah, aku juga takut naik sepeda. Nanti oleng, terus jatuh, kan sakit.

"Kamu takut?" tanya Fajar masih mengayuh sepedanya.

"Se-sedikit," jawabku tergagap.

"Aku jamin gak bakal jatuh. Mana mungkin aku biarin cewek kayak kamu jatuh." ucapnya percaya diri. "Eh, aku biarin deh, kalau jatuhnya ke hati aku."

Aku tertawa pelan. "Kamu belajar gombal dimana? Gombalannya basi." ejekku mengalihkan detak jantungku yang tak karuan.

"Siapa bilang lagi ngegombal, aku serius, kok."

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang