#18 Senja

752 39 10
                                    

Dua hari ini terasa sangat berwarna. Meskipun aku jatuh sakit, ada Fajar datang menemani dan menghiburku. Jujur, kini badanku jauh lebih sehat. Sahabatku yang satu itu jangankan menemani, mungkin saja dia tidak tahu kalau aku dibully Mentari dan jatuh sakit. Belum lagi tentang Alvin yang memiliki kembaran. Pasti dia akan menuntut banyak penjelasan dariku. Dan pastinya dia akan heboh seperti biasa. Mungkin lebih.

"Badan kamu masih sakit?" tanya Fajar memecah keheningan mobil.

Aku menggeleng. "Udah lumayan. Aku udah dibolehin sekolah besok."

"Beneran? Gak bohong, kan?"

"Iya, gak bohong, kok."

"Udah minum obat?"

"Ih, kamu kok cerewet banget, sih?" tanyaku sedikit kesal.

"Yee, aku nanya malah balik nanya." Fajar menghiraukan gerutuanku.

"Udah." jawabku. Tadi siang sebelum berangkat, aku sempat meminum obat dan itu adalah obat yang terakhir. Mendadak aku teringat sesuatu.

"Oh ya, by the way, apa kamu ngerasa ketinggalan barang?"

"Ng... emangnya kenapa?"

"Aku nemu ini di nakas. Dan kayaknya ini bukan punya aku, deh."

Aku mengeluarkan dua buku dari tasku. Yang satu kecil tapi tebal dan yang satu berukuran seperti buku tulis.

"Oh ya, ini punya aku! Pantesan aku cari gak ketemu." serunya. Dia mengambil dua buku itu dari tanganku. "Makasih ya." Aku mengangguk sebagai jawaban.

"Gimana pendapat kamu tentang peta tadi? Bagus?" Fajar mengalihkan pembicaraan sambil membelokkan mobil ke kiri.

"Banget." jawabku antusias. "Sejak kapan kamu buat?"

"Sekitar satu tahun yang lalu. Awalnya iseng-iseng aja, cuma buat peta Indonesia. Tapi akhirnya aku ketagihan. Makanya aku selesaiin sampai seluruh dunia."

Aku ber-oh ria sambil mengangguk. "Eh, kalau boleh tau, tadi itu kita dimana?"

"Rumahku. Tapi sekarang udah gak ditempatin lagi. Palingan kalau liburan baru kesana, nginep sehari atau dua hari."

Aku kembali ber-oh ria.

"Kok 'oh', sih?" Fajar tergelak.

"Terus aku jawab apa? Kalo 'haha' kan, gak nyambung."

Fajar tertawa mendengar gurauan yang menurutku sangat garing.

"Setelah kamu nunjukin peta itu, aku jadi mikir." celetukku tiba-tiba.

"Mikir apa?"

"Kalau dunia itu lebih luas daripada yang aku bayangin. Membuat aku semakin penasaran dengan bumi dan isinya." Aku tersenyum dan menoleh ke kanan. "Makasih, ya, udah nunjukin semuanya."

"Sama-sama." balasnya. "Makanya kamu harus terima donor mata itu supaya kita liat dunia sama-sama."

Senyumku memudar begitu saja. Pembicaraan mengenai pendonoran mataku sama saja mengungkit sikap egois Kak Surya.

"Kamu ingat apa yang pernah aku bilang, kan? Aku gak bisa terima itu begitu aja. Kak Surya bakal benci banget sama aku, Jar."

"Kamu juga ingat apa yang pernah aku bilang, kan? Mimpi ada itu untuk kita raih. Pendonor kamu udah ada. Artinya tinggal sedikit lagi, kan? Setelah itu kamu bisa liat dunia seperti yang kamu mau. Mimpi yang selama ini kamu impikan akan jadi nyata. Jangan jadikan kakak kamu sebagai alasan penghalang.

"Suatu saat, dia pasti luluh, Ja. Sama seperti batu yang ditetesi air terus menerus, suatu saat dia akan pecah. Dia pasti luluh dengan sikap sabar kamu selama ini. Percaya sama aku, jauh di dalam lubuk hatinya, seorang kakak pasti menyanyangi adiknya mengalahkan semua ego yang dia bangun selama ini."

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang