#20 Surya

656 38 7
                                    


"Nanti kamu anterin Senja sampai ke kelasnya, jangan sampai di depan gerbang doang." Ucapan Ayah memecah keheningan meja makan pagi ini.

"Iya, Yah."

Aku memakan roti dengan setengah hati. Meskipun roti ini diolesi selai cokelat kesukaanku, tapi ini kurang cukup untuk menambah energiku. Pagi ini adalah pagi bersejarah, dimana untuk pertama kalinya, Kak Surya mengantarku ke sekolah. Jika dulu aku akan bersorak kegirangan, maka kini aku tidak memiliki semangat apapun.

Alasannya aku sudah lelah. Rasanya aku sudah cukup sabar menghadapinya, namun tembok raksasa itu masih tetap kokoh. Meruntuhkannya sama saja dengan melukai diriku sendiri. Aku tidak ingin melukai diriku dan menjadi orang bodoh lebih lama lagi. Mulai sekarang aku sudah bertekad untuk tidak peduli lagi dengannya. Terserah dia, mau dia tetap membenciku atau mengusirku dari keluarga, aku tetap tidak peduli. Aku sudah lelah menghadapinya.

"Kalau udah selesai makan, langsung ke mobil. Kakak mau ambil ponsel di kamar."

Aku tertegun. Apa aku lupa membersihkan telingaku? Tadi dia menyebut apa tadi? Kakak? Bahkan di depan Ayah dan Bunda dia berani memakai lo-gue denganku. Dan dia sekarang dia menyebut dirinya dengan kakak? Apa ini artinya aku sudah dianggap sebagai.... adik?

Jangan berharap lagi, Senja!

Peringatan itu membuatku tersadar dari lamunan. Ya, aku harus memegang teguh prinsipku yang baru. Masa bodoh dengannya. Lagipula, Kak Surya membenciku dengan segenap hatinya, jadi mana mungkin dia bersikap baik denganku bahkan sudah menganggapku adiknya? Di matanya, aku ini hanya parasit keluarga.

Bunda mengantarkanku ke mobil. Dia tak banyak bicara. Setelah aku duduk di dalam mobil, Bunda hanya berkata belajar yang rajin sambil mengelus kepalaku setelah itu masuk ke dalam rumah meninggalkanku. Aku bersandar di jok, mengatur ritme napasku.

Meskipun aku tidak peduli padanya, aku harus tetap mempersiapkan tameng terkuatku.

***

Hening.

Ya, kalian tak salah baca.

Sudah lima belas menit mobil berjalan, tapi tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Kak Surya. Hanya siaran radio yang memecah kesunyian mobil. Aku dibuat bingung olehnya. Di saat aku sudah berharap setinggi langit, dia malah menjatuhkanku dengan kejam. Dan sekarang, di saat aku sudah tak peduli sembari menyiapkan hatiku agar tetap kuat, dia malah dia seribu bahasa.

"Kita udah sampai," Kak Surya akhirnya bersuara. Aku jadi gelagapan, karena kembali melamun. Aku meraih tas dan bukuku dan membuka pintu mobil.

"Biar kakak bawain buku kamu." Kak Surya sudah mengambil buku di tanganku.

"Eh?" Aku terkejut. Rasa terkejutku bertambah saat Kak Surya meraih tangan kananku dengan tangannya yang lain. Tangannya yang sehangat surya menggenggam tanganku yang dingin.

Ini kali pertama Kak Surya menuntunku berjalan.

Koridor yang terasa sunyi dan udara pagi yang sejuk menemani perjalanan kami. Biasanya, koridor yang kulewati ini selalu berisik, entah kenapa hari ini menjadi sunyi. Apa mungkin Kak Surya memilih jalan lain? Aku tidak bisa apa-apa selain menduga-duga.

Aku lagi-lagi tersentak kaget saat Kak Surya mengelus tanganku dengan ibu jarinya. "Tangan kamu dingin banget," gumamnya yang masih bisa kudengar.

Aku tak menjawab apapun. Bukan karena tidak mau, tapi tidak ada jawaban yang menurutku tepat.

"Jawab dong, kakak penasaran tau." ucapnya berusaha untuk bercanda.

"Eh, ng.... tangan aku emang begini." jawabku gelagapan.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang