Aku menanti jawaban Fajar sambil menggigit bibir. Takut jika jawaban dari soal yang Fajar kasih itu salah.
"Well, aku rasa kamu gak perlu belajar lagi nanti malam." Fajar meletakkan buku tulis di pangkuanku. "Jawaban kamu betul semua. Cuma salah dikit-dikit, tapi aku rasa bisa dimaafinlah."
Aku mendesah lega dan menyadar di sofa. "Gak terasa besok pagi udah ujian terakhir. Aku kira, aku gak bakalan bisa ngelewatinnya." Aku menoleh ke kiri, tempat Fajar berada. "Makasih, ya, udah mau bantuin aku belajar."
Fajar mengacak rambutku. "Sama-sama. Jangan lupa doa sebelum ujian. Ingat konsep-konsep yang udah kita bahas tadi."
Aku mengacungkan jempol. "Sip. Eh, ngomong-ngomong, kamu gak ujian kenaikan kelas juga? Ya... aku merasa selama ini kamu keliatan santai-santai aja."
"Jadwal aku minggu depan."
Aku mengangguk sambil bergumam, oh.
Aku merasa deja vu saat belajar seperti ini dengan Fajar. Dulu, kami suka belajar bersama di perpustakaan kota. Membicarakan dunia dan isinya, membahas sejarah belahan dunia, sampai akhirnya kami bercerita tentang mimpi-mimpi. Hanya saja, sejak kami berpacaran, kegiatan itu kami lupakan begitu saja. Padahal, 'belajar di perpustakaan' adalah kegiatan yang mempertemukan kami berdua.
Sejak satu minggu yang lalu, kami belajar dengan cara yang berbeda. Setelah membahas pelajaran yang diujiankan, Fajar memberiku beberapa soal yang di tulis di sebuah buku dengan tulisan braile. Lalu, aku menjawabnya dengan lisan. Fajar akan menilai jawabanku dan saat semua soal sudah terjawab, Fajar akan memberitahu berapa betul dan salahnya. Tidak jarang kami berdebat, mempertahankan jawaban yang kami rasa benar. Namun hal itu tidak membuat kami bertengkar sampai berhari-hari. Kami sudah belajar dari kejadian sebelumnya.
Aku terkejut saat tahu Fajar bisa membaca dan menulis huruf braile. Saat aku bertanya dengan santainya dia menjawab, "Aku belajar sendiri, lho. Pacar kamu, kan, pinter. Lagian gak ada salahnya, kan, aku bisa baca dan nulis huruf braile? Justru, kamu merasa dimudahkan dengan kemampuan aku ini."
"Besok sore... jangan lupa, ya," ucap Fajar tiba-tiba. Ucapannya terdengar salah tingkah.
Aku justru bingung. "Jangan lupa apa?"
Fajar berdecak, menahan rasa kesalnya. "Kita, kan, mau ke pantai."
Aku menepuk keningku dan tersenyum. Giliranku yang salah tingkah. "Oh iya! Aku lupa. Maaf, ya."
"Dimaafkan." Fajar mencubit pipiku.
"Eh, aku boleh ajak Embun gak?"
"Embun?"
***
Ujian terakhir sudah kulalui dengan baik. Akhirnya aku bisa bernapas lega. Semua ini juga tidak terlepas dari usaha dan doaku serta dukungan Fajar. Aku jadi tidak sabar menunggu sore akan tiba. Sesuai janji Fajar, sore ini kami akan ke pantai.
Pak Usman menuntunku berjalan menuju kamarku. Di tengah jalan, langkah kami dicegat oleh suara Bunda.
"Pak, tolong bawa Senja ke sini dulu. Kami ingin ngobrol sebentar."
"Baik, Bu."
Tidak hanya Bunda, ada Ayah dan Kak Surya juga—setelah aku mendengar keduanya mengobrol. Setelah duduk di sebelah Bunda dan Pak Usman pamit, aku bertanya, "Ada apa?"
"Gimana ujian kamu?" tanya Kak Surya basa-basi.
"Alhmdulillah lancar. Kalau gak ada Fajar, aku gak tau mau belajar kayak mana." Aku memukul lengannya pelan—untungnya tepat sasaran. "Harusnya Kakak yang nemenin aku belajar, bukannya Fajar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.