#12 Embun

829 55 6
                                    

Minggu pagi. Seperti biasa, aku duduk-duduk santai di taman depan rumah sambil menunggu Embun datang. Kemarin, dia mengatakan bahwa dia akan ke rumahku setelah lari paginya selesai. Katanya, ada hal yang penting yang ingin disampaikannya.

"Hei,"

"Embun? Kok cepet sampainya? Udah selesai program dietnya?" tanyaku.

"Aku gak jadi lari pagi. Telat bangun. Makanya aku kesini pake motor." gerutunya. "Udah ah, pagi-pagi jangan ngomongin diet. Ada hal yang pengen aku kasih tau ke kamu. Pen-ting ba-nget."

"Ya udah kasih tau aja." sahutku acuh tak acuh.

"Ck, kalau disini nanti didengerin orang. Ke kamar kamu aja."

"Ya udah."

Saat menuju kamar, kami berpapasan dengan Bunda dan dia menawarkan sarapan kepada Embun. Embun menolak dengan alasan sudah sarapan tadi. Dalam hati aku tertawa. Embun pasti menahan seleranya mati-matian demi menceritakan hal penting itu. Sejujurnya aku juga penasaran dengan apa yang ingin disampaikannya.

"Mau ngomongin apa, sih? Penting banget emangnya?" tanyaku membuka pembicaraan.

"Ini penting banget, Senja. Ini menyangkut perasaan kamu."

Alisku tertaut. Perasaanku? Ada apa dengan perasaanku?

"Fajar itu suka sama kamu."

Belum sampai air putih ke tenggorokanku, aku malah menyemburkannya dan alhasil, aku terbatuk-batuk. Jantungku hampir berhenti berdetak saat itu juga.

"SENJAA!! INI KENA MUKA AKU LHO!!"

"Siapa suruh kamu ngomongin itu tiba-tiba?" tanyaku kesal.

Aku mendengar kekehannya. "Pasti kamu shock, ya?"

"Ya iyalah! Emangnya kamu tau darimana?"

"Bukan tau darimana, sih. Tapi, aku udah observasi, analisa, sampai semedi di dalam kamar."

"Lebay banget diksinya. Lagian kamu kayak gak ada kerjaan lain aja."

Embun menghiraukan ucapanku dan melanjutkan ceritanya. "Nih, kalau kamu gak percaya sama hipotesis aku, dengerin, ya. Analisa pertama: Fajar ngomong sama kamu pake aku-kamu bukan lo-gue. You can heard him when he called me in the library. Dia pake lo-gue, kan?"

Aku terdiam. Embun berhenti sejenak seakan memberiku waktu untuk berpikir. Bagaimana bisa aku melupakan fakta itu? Aku cukup lama mengenal Fajar dibanding Embun. Tapi bagaimana Embun bisa mengetahuinya lebih dulu dariku?

"Analisa kedua: waktu aku cari buku sama dia, aku gak sengaja mergokin dia ngeliat kamu sambil senyum-senyum."

Aku tak memotong ucapannya. Dari luar, reaksiku biasa saja, tapi dalam hati aku berteriak tak percaya. SUMPAH DEMI APA???!!!!!?!!!????!!

"Analisa ketiga: waktu kalian berdua di taman, aku bisa liat dari matanya kalau dia benar-benar suka-eh, bukan deng, sayang kayaknya." Sedetik kemudian, Embun bersorak heboh "Iya! Dia bukan sekedar suka, tapi dia sayang sama kamu!"

"Sstt! Jangan keras-keras! Nanti Bunda aku denger!"

"Ups,"

"Jadi waktu itu kamu ngintipin aku, gitu?" tanyaku selidik.

"Eh, bukannya gitu." elaknya. "Aku bingung banget waktu itu kalian ngomongin hal yang serius. Ya... aku gak mau ganggu. Makanya aku liatin kalian dari jauh."

Aku mendengus. Kukira Embun tak akan kembali waktu itu. Tapi, setelah Fajar mengganti bahan obrolannya kemarin, Embun langsung muncul membawa minuman kami yang sudah tak dingin.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang