#26 Senja

559 37 16
                                    

OH GOD! What should I do now? Reject? Ah, kalau di-reject, hubunganku sama Fajar malah makin kacau. Tidak lucu bukan kalau hubungan kami makin keruh hanya karena telepon yang ditolak. Angkat? Nope. Bukannya aku tidak mau berbicara dengannya dan membicarakan masalah kami secara baik-baik. Aku tidak mau mengangkat karena aku tidak tahu harus ngomong apa. Aku adalah tipe orang yang tidak bisa berbasa-basi, begitu juga dengan Fajar. Mana mungkin kami akan menghabiskan waktu dengan mendengarkan angin lalu?

Ouch, bagaimana pula kami bisa berbasa-basi kalau sekarang ini kami sedang bertengkar?

"Hape kamu bunyi, Ja," ucap Kak Surya yang menyadarkanku dari lamunan. "Kakak ambil, ya?"

Lagu itu masih mengalun lembut, menandakan Fajar masih menunggu jawabanku. Tak lama Kak Surya menghampiriku dan berkata, "Fajar nelpon kamu, kebetulan banget, ya. Biar Kakak yang angkat."

Aku menggeleng cepat, "Jangan-"

"Halo, Jar."

Aku menggigit bibir. Terlambat sudah. Bagaimana sekarang? Bagaimana caranya aku meminta maaf padanya? Kalau Fajar tidak mau memaafkanku bagaimana? Atau jangan-jangan, Fajar menelpon untuk minta putus?

Spekulasi-spekulasi negatif itu bergerak liar di dalam otakku.

"Senja ada, kok. Tunggu bentar," kata Kak Surya. Kak Surya mengambil tanganku dan meletakkan ponselku di telapak tanganku. "Bicara sama dia baik-baik. Jangan lupa minta maaf. Kakak keluar dulu."

Setelah mendengar pintu kamarku ditutup, aku meletakkan ponsel itu di telingaku. "Halo, Jar."

"H-hei," balasnya ragu. "Kamu di rumah, ya?"

"Iya. Kamu sendiri?"

"Aku juga." Kudengar helaan napas di seberang sana. "Kamu.... baik-baik aja, kan?"

"I'm fine, as always."

Cukup lama kami terdiam. Terlalu canggung kalau aku tiba-tiba bercerita soal buku yang baru dibelikan Kak Surya dan terlalu cepat kalau aku tiba-tiba meminta maaf padanya. Jujur saja, aku ingin langsung meminta maaf padanya, tanpa basa-basi. Namun, sisi egoisku kembali datang. Hati dan otakku berperang hebat. Sampai akhirnya, hatiku lebih dulu bertindak.

"Aku minta maaf."

"Aku minta maaf."

Aku menggigit bibirku untuk kesekian kali. Entah bagaimana caranya, ucapan kami bisa sama dalam waktu yang bersamaan. Tidak berselisih sedetik pun.

"Aku yang salah, Jar," ucapku setelah kami terdiam lagi. "Aku marah sama keadaan yang membuat aku lupa bersyukur. Aku lupa kalau aku masih punya orang tua yang lengkap, kakak yang perhatian, sahabat yang baik, dan.... kamu yang menyanyangi aku, Jar," lirihku. Air mata lolos dari kelopak mataku. "Aku lupa kalau kamu adalah orang yang menghidupkan kembali mimpi aku untuk bisa melihat dunia. Gak seharusnya aku ngomong kayak gitu sama kamu dan memancing emosi kamu. Aku nyesal. Aku.... aku bener-bener minta maaf, Jar."

"Hei, jangan nangis."

Bukannya berkurang, air mataku justru sudah membentuk sungai di pipiku. Ucapan lembutnya itu tidak berkurang sedikit pun. Masih sama lembutnya dengan dulu, saat dia menolongku setelah di-bully Mentari.

"Aku juga salah, Ja," sambungnya. "Harusnya aku gak kebawa emosi waktu itu. A-aku gak ngerti kenapa aku bisa bentak kamu kayak gitu. Aku janji, itu yang terakhir, Ja."

Di tengah tangisku, aku tersenyum.

"Udah, jangan nangis lagi."

"Tapi kamu maafin aku, kan?" tanyaku memastikan.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang