#05 Senja

1K 59 1
                                    

Canggung. Aku berusaha fokus pada makanku. Mulutku langsung terkatup rapat setelah Ayah berbicara. Tak berminat dengan topik yang Ayah bahas.

"Senja, kamu dengar apa yang Ayah katakan, bukan?" tanya Ayah.

Aku mengangguk sekilas.

"Gimana pendapat kamu?"

Aku mendesah pelan. "Ayah, mencari pendonor mata itu bukan hal yang gampang. Itu juga membutuhkan biaya yang besar. Udah cukup kalian kerepotan karena keterbatasanku ini, aku gak mau menambah repot Ayah sama Bunda hanya karena ingin aku bisa melihat."

"Hus! Gak boleh ngomong gitu! Kamu sama sekali gak merepotkan kami." Bunda membelai pipiku. "Senja, kamu punya hak untuk melihat dunia. Uang bisa dicari, Sayang. Kami akan melakukan apapun untuk membahagiakan kamu. Bukannya kamu sendiri yang bilang kalau kamu ingin melihat landmark di seluruh dunia dengan matamu sendiri? Mendaki gunung? Menelusuri pantai? Itu, kan, yang kamu mau?" tanya Bunda menohokku.

"Dengan begini aja, aku udah bahagia, kok, Bun." ujarku. "Lagipula, uang itu bisa untuk kuliahnya kak Surya."

Bunda menghela nafasnya. "Keras kepala, sama seperti ayahnya."

"Ya udah, ayah gak akan memaksa kamu, Senja. Tapi, kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa bilang sama ayah atau bunda. Paham?"

Aku mengangguk. Aku melanjutkan makan malamku. Namun, langsung diinterupsi oleh teriakan dari garasi.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam!" Bunda berseru senang. "Surya?"

Aku yakin wajah Bunda menunjukkan kegembiraan. Sudah sepatutnya begitu, karena Kak Surya sudah lama tak pulang ke rumah. Aku lupa memberitahu kalau aku punya kakak laki-laki bernama Surya. Kak Surya kini kuliah di ITB Bandung.

"Kenapa gak kasih kabar kalau mau pulang?" tanya Ayah.

"Biar surprise, Yah." kekeh kak Surya. "Wih, Bunda masak ikan bakar?"

"Iya, iseng-iseng."

"Kebetulan, aku lagi laper banget. Baunya sampai ke garasi, lho."

Suara kursi berderit di samping kiriku. Aku mencoba menyapanya. "Kak Surya apa kabar?"

"Baik banget, lo bisa liat sendiri." jawab Kak Surya yang tadinya sumringah, kini menjadi datar. "Oh, gue lupa. Gue, kan, punya adik buta yang nyusahin keluarga."

"Surya," tegur Ayah.

Tak ada pembicaraan lagi. Aku menikmati makan malamku tanpa beban. Kalian bilang aku munafik? Tidak, sama sekali tidak. Aku sudah biasa diperlakukan seperti itu oleh Kak Surya, dari kecil malah. Bunda selalu mengatakan bahwa omongan Kak Surya jangan dimasukkan ke dalam hati. Dari kecil aku dididik untuk memiliki mental sekuat baja, agar aku tetap kuat menghadapi cemoohan orang. Makanya jika orang menyinggung kekuranganku, aku bersikap biasa saja.

Kak Surya berjarak enam tahun dariku. Dia berhasil masuk ITB berkat kepintarannya. Hanya dia yang-sepertinya-tak bisa menerima kekuranganku. Terbukti, dari aku kecil hingga detik ini, tak pernah dia menunjukkan sikap ramahnya padaku. Aku mencoba berlapang dada. Aku yakin, suatu saat dia pasti menerimaku.

Makan malam sudah selesai, aku meninggalkan meja dan berjalan menuju kamar. Pekerjaan rumah tadi sore sudah selesai. Aku menghabiskan malamku dengan membaca buku jagat raya yang kupinjam di perpustakaan kota. Seketika, aku mengingat Fajar. Kapan lagi aku bisa bertemu dengannya? Ah, aku lupa menanyakan dimana dia bersekolah. Kurasa, Fajar adalah anggota baru perpustakaan kota. Aku sudah lama menjadi anggota, belum pernah aku mendengar nama Fajar Rawikara. Jujur, aku belum pernah mengobrol banyak pada lawan jenis, kecuali pada....

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang