Hai. Gue-eh, aku-eh, bingung nih gue mau pake gue atau aku. Hmm, aku aja deh, biar kesannya gak ketus amat, tapi jangan pada ketawa, ya.
Aku Fajar Rawikara. Apa kabar kalian semua? Aku harap kalian baik-baik saja, hehehe. Kalau aku... ya alhamdulillah Allah masih memberi aku kesempatan untuk tetap hidup. Sekarang, aku duduk di bangku SMP dan juga aku masuk kelas akselerasi di sana.
Aku pengin cerita, ng... tentang cewek sih. Tadinya aku ingin cerita dengan Alfa atau Alvin. Tapi, setelah kupikir-pikir, tidak enak rasanya mengganggu Alfa yang mungkin sibuk di Australia dengan cerita tidak pentingku ini. Kalau Alvin, aku takut dia meledekku. Ya... secara Alvin berpengalaman soal beginian, apalagi tentang cewek. Jadi kurasa lebih baik aku cerita dengan kalian. Ssttt, janji ya, kalian gak akan bocorin ke siapa-siapa, apalagi sama cewek yang namanya Senja Almira. 😆
***
"Jar."
Langkah Fajar terhenti saat Ibu memanggilnya dari dapur. Tak lama dirinya muncul dengan tangan yang sedikit kotor karena tepung.
"Mau ke mana? Sampai harus ngendap-ngendap kayak maling?"
Orang yang paling sulit Fajar bohongi adalah ibunya, Dewi. Wajahnya seakan ditampar bolak-balik saat Fajar membohongi wanita itu. Jadi, Fajar hanya bisa menyeringai.
"Mau ke mana?" tanya Dewi lagi.
"Mau ke perpustakaan kota. Gak boleh, ya?" jawab Fajar.
Dewi mengangguk, "Asal jangan sampai kecapean aja. Kan, besok kita mau ke rumah sakit."
"Ngapain?"
"Kan besok jadwal cuci darah kamu."
Raut wajah Fajar berubah seketika. "Oh, oke."
Dewi menepuk pundak anak tunggalnya itu, memberinya semangat. "Anak Ibu gak boleh nyerah, ya? Ibu yakin kamu bisa sembuh."
Fajar menghela napas. "Cepat atau lambat, Fajar pasti akan mati, Bu."
Dewi menghela napas tak kalah kuat. "Ibu tau, Jar. Gak cuma kamu, Ibu juga pasti akan mati, semua makhluk hidup pasti akan mati. Tapi gak ada salahnya kan kita berusaha untuk sembuh? Untuk tetap hidup? Masih banyak hal yang bisa kamu lakukan daripada terus meratap kayak gini."
Fajar sadar tidak ada gunanya optimis ketika fakta sudah berkata hidupnya tidak lama lagi. Perkataan ibunya tidak memberikan efek apa pun padanya. Namun, biar bagaimana pun, Fajar tak sanggup melawan ucapan ibunya. Fajar hanya bisa diam setelah itu, mengambil sepatunya lalu mencium pipi Dewi sekilas. "Fajar pergi dulu ya, Bu."
Dewi mengangguk. "Hati-hati."
Melihat putranya menghilang di balik pagar dengan sepedanya, air mata Dewi jatuh setetes.
Ibu yakin kamu bakal sembuh, Jar. Tapi sampai kapan kamu pesimis terus?
***
Fajar melihat satu per satu judul buku di rak sejarah. Hampir semuanya sudah Fajar baca. Tadi kata Bu Mira—salah satu petugas perpustakaan kota—ada koleksi terbaru di rak sejarah, tetapi dia lupa kode bukunya. Makanya Fajar meniti satu per satu buku di rak sejarah. Akhirnya Fajar mendesah lelah, buku yang dia lihat tidak ada yang asing di matanya.
Mungkin di rak sebelah, pikirnya.
Saat Fajar berpindah ke rak sebelah, saat itulah pusat dunianya beralih.
Langkah Fajar terhenti saat melihat apa yang ada di depannya. Tubuhnya terutama kakinya menjadi kaku. Mata Fajar menatap lurus pada seorang gadis seumurannya, berjongkok sambil meraba-raba lantai seakan mencari sesuatu. Melihat tingkahnya, Fajar menjadi bingung. Gadis itu juga tidak bereaksi sejak Fajar datang, seakan tidak tahu bahwa Fajar berdiri di sana sejak tadi. Fajar hanya bisa diam memperhatikan gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.