#31 Fajar

689 47 29
                                    

"Gak, ini gak mungkin." Aku menggeleng kuat. Dengan mata yang masih berair, aku manatap Ibu dengan penuh harap. "Ini bukan Fajar pacar aku, kan, Bu?"

Tangis wanita itu pecah. Dia tidak mampu menjawab pertanyaanku.

"Ini bukan Fajar, kan, Bu? Fajar masih hidup, kan?" cecarku tidak sabar. Kalau ini bukan pemakaman, mungkin aku sudah berteriak histeris.

Tangisnya mulai mereda. Dia terduduk di sampingku lalu memeluk tubuhku. "Kamu harus ikhlas, Ja. Fajar pasti sedih liat kamu begini."

Ikhlas? Ikhlas???

Bagaimana mungkin aku bisa ikhlas saat ini? Tidakkah ada yang mengerti? Ini semua terlalu mendadak. Kedatangan Ibu Dewi dan makam ini. Tidak, Fajar pasti masih hidup. Ini semua hanyalah mimpi. Berulang kali aku mencubit tanganku, berharap aku terbangun di atas kasur empukku. Namun nyatanya, aku masih di samping makam ini. Aku memukul lengan kiriku berulang kali. Persetan dengan rasa sakit.

"Gak, ini semua bohong. Ini semua gak bener," isakku sambil menggeleng lemah.

"Kamu gak boleh begini, Ja. Kamu harus terima takdir yang udah digariskan Allah."

Aku menggeleng. Aku tak sanggup lagi ada di sini. Aku melepas pelukan Ibu dan berlari. Menghapus bekas air mata di pipiku dengan kasar. Aku terus berlari, mengabaikan panggilan wanita itu.

Fajar sudah berjanji untuk menghubungiku. Iya, dia yang akan menghubungiku, bukan orang lain. Yang harus kupercayai adalah Fajar itu sendiri, bukan orang lain meskipun orang lain itu adalah orang terdekat Fajar. Aku bertekad akan terus menunggu Fajar sampai maut menjemputku.

Tapi, ini benar-benar nyata, Ja. Fajar beneran udah pergi.

Aku langsung tersandung saat sisi lain hatiku berkata. Aku terduduk di pinggir jalan. Aku memukul tanah berulang kali dan terus bertanya dalam hati, Kenapa? Kenapa harus Fajar?

Ibu berhasil mengejarku. Dia memeriksa tubuhku. Kedua lututku yang tidak dilindungi apapun memar dan berdarah. Rasa sakit kembali menghantamku saat Ibu menghapus jejak air mataku dengan lembut. Ini sama lembutnya dengan perlakuan Fajar.

"Kita obati luka kamu di rumah Ibu, ya? Sekalian, Ibu mau cerita sama kamu."

Aku mengangguk. Ya, aku butuh penjelasan, meskipun pada akhirnya aku akan menolaknya.

***

"Selama ini Fajar sakit, Ja."

Aku menatap Ibu tidak percaya. "A-apa? Sakit apa, Bu?

Wanita itu menggeleng. "Ibu gak mau cerita banyak sama kamu. Ibu takut kalau kamu gak akan kuat nerima semua ini. Kamu akan tau semuanya secara perlahan."

Aku menghela napas. Sekuat tenaga aku menahan air mataku agar tidak jatuh. "Tapi Fajar gak pernah ngeluh sakit sama aku, Bu."

"Fajar itu pintar menyembunyikan sesuatu, Ja. Bahkan Ibu juga sering terkecoh dengannya. Fajar itu.... penuh misteri."

Aku termenung. Berarti apakah masih ada rahasia Fajar yang tidak aku ketahui? Tapi kenapa dia menyembunyikannya? Kenapa selama ini dia menyembunyikan penyakitnya dariku?

"Senja."

Aku menoleh pada Ibu yang telah membersihkan lukaku.

"Kamu gak usah merasa bersalah. Ibu tau kamu begitu merasa bersalah di saat kamu gak tau kondisi Fajar sebenarnya," ucapnya sambil tersenyum. "Kamu harus tau, sejak dia liat kamu di perpustakaan kota, dia jadi periang. Dulu sejak dia sakit, dia jadi pemurung. Dia minder dengan teman-temannya. Hal itu membuat dia ingin ikut home shooling dan Ibu menyetujuinya."

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang