#23 Mentari

649 42 15
                                    


Apa kamu gak ingat siapa yang membuat kamu masuk rumah sakit, Ja?

Aku segera tersadar. Tidak, aku tidak boleh lagi tergiur dengan janjinya. Logikaku benar, berkat janjinyalah aku berakhir di rumah sakit.

Aku mendorong dadanya pelan lalu menggeleng, "Jangan bilang janji lagi, Kak. Buat apa Kakak janji kalau akhirnya gak kakak tepatin?"

"Kakak serius dengan janji Kakak kali ini, Ja. Salah Kakak sama kamu udah terlalu banyak. Kakak tau, maaf aja gak cukup buat menyembuhkan luka di hati kamu. Tapi apa kamu gak mau hubungan kita membaik, selayaknya kakak-adik yang normal?" pintanya lirih.

Aku terdiam cukup lama. Kamarku menjadi hening. Entah ke mana dua orang yang sedang berkelahi tadi. Aku malah berfirasat, kalau saat ini mereka berdua bergerak mundur, memberi kesempatan kepada Kak Surya untuk berbicara padaku.

Ini semua terlalu tiba-tiba. Mulai dari perubahan sikapnya saat mengantarku ke sekolah, nada bicaranya yang tidak sepedas dulu, dan sekarang tanpa angin tanpa hujan, dia mengemis maaf padaku. Tentu saja ini mengejutkan sekaligus membuatku bingung. Kenapa tiba-tiba Kak Surya jadi seperti ini?

"Ja?" panggil Kak Surya yang menyadarkanku dari lamunan. "Kamu mau hubungan kita membaik, kan?"

Aku mengangguk pelan seraya menundukkan kepala.

"Kalau gitu, kamu mau maafin Kakak, kan?"

Kali ini aku diam. Jujur saja, aku ingin sekali hubunganku dan Kak Surya membaik, seperti hubungan kakak-adik pada umumnya. Tapi, sakit hatiku lebih besar dibandingkan dengan keinginanku itu. Luka yang dia goreskan di hatiku tidak akan sembuh dengan satu kata maaf.

"Oke, Kakak sadar, kamu gak akan semudah itu maafin Kakak," lirihnya. Kali ini dia meraih kedua tanganku, "Kalau gitu, sebagai permintaan maaf, Kakak akan melakukan apapun buat kamu. Kakak gak akan pernah berhenti, sampai kamu mau memaafkan Kakak." Kak Surya membuat gerakan melingkar di punggung tanganku dengan jempolnya. "Kakak akan mewujudkan mimpi besar kamu."

Aku mendongakkan kepala. Mimpi besar? Mimpi besar yang mana? Begitu banyak mimpi yang ingin kuwujudkan, sampai-sampai aku tidak tahu mimpi besar mana yang dimaksud Kak Surya.

"Kakak akan mengizinkan kamu untuk melakukan operasi pendonoran mata."

Deg.

Apa yang dia katakan barusan? Aku boleh operasi mata?

"Kakak seirus, Ja," sambungnya setelah menyadari keterkejutanku.

"Be-beneran?" Aku sungguh kehabisan kata-kata.

Dengan gemas, dia mencubit kedua pipiku, "Iya, Adikku," jawabnya. "Setelah operasi, Kakak akan ngajak kamu ke berbagai landmark yang ingin kamu kunjungi. Kita lihat dunia ini sama-sama, kita jelajahi dunia ini sama-sama."

Aku terdiam cukup lama. Perubahan Kak Surya ini terlalu signifikan. Aku malah takut, ini adalah mimpi dan dia akan kembali pada sifat aslinya. Berkali-kali aku mencubit tanganku, menyakinkan bahwa ini hanya mimpi. Tapi, akhirnya aku sadar apa yang kulakukan itu adalah sia-sia. Ini bukan mimpi.

"Jadi gimana? Kamu mau maafin Kakak?"

Ini kesempatan besar dan hanya orang bodoh yang mau menyia-nyiakannya. Tanpa berpikir dua kali, aku menganggukkan kepalaku. Kak Surya langsung memelukku dan mengucapkan terima kasih berulang kali.

Dan pada akhirnya, aku tidak bisa menolak permintaan maafnya. Aku dan Kak Surya resmi berbaikan.

***

Seketika duniaku berubah setelah permintaan maaf Kak Surya.

Aku tidak bisa berhenti untuk tersenyum dan rasanya aku tidak pernah sebahagia ini. Aku sangat bahagia karena Kak Surya benar-benar berubah. Berulang kali dia bertanya, "Kamu mau apa? Biar Kakak ambilkan," atau "Kalau kamu mau makan bilang aja, nanti biar Kakak yang suapin." Dulu, jangankan menawarkan ini-itu, menjengukku sakit saja tidak mau. Padahal, waktu itu kami masih satu atap. Selain itu, aku juga bahagia karena kamarku jadi semakin ramai karena kedatangan Fajar yang bersamaan dengan Alvin dan Guntur. Bahkan yang mengejutkan, Mentari juga ada di antara kami.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang