"APA?!!"
"Kaget, ya?" Aku terkekeh. Sesuai janji, malam ini Embun menginap di rumahku sekaligus mengadakan sesi curhat semalaman.
"Gimana gak kaget coba. Kamu tiba-tiba sakit terus gak ke sekolah, Alvin ada dua, dan sekarang kamu bilang kamu udah pacaran sama Fajar?!"
"Tunggu, tunggu, Alvin ada dua?" Sedetik kemudian aku tertawa. "Kamu gak tau siapa satu lagi?"
Embun mendengus. "Gimana aku tau kalau aku udah pingsan duluan."
"Pingsan beneran?" tanyaku tak percaya.
"Iye," jawabnya seraya berdecak.
Sekali lagi aku tertawa. Mungkin Embun sedang menatapku bingung. Bagaimana bisa seseorang yang sudah dibully lalu sakit lahir batin tertawa terbahak-bahak?
"Ketawa aja terus mbak." ucap Embun sarkastik.
"Sayang banget aku gak dateng waktu itu." Aku masih tertawa. "Kalau kamu mau tau, yang satu lagi itu Alfa, kembarannya Alvin."
Embun terdiam sejenak. Tapi, bukan berarti kekesalannya berkurang. "Gak perlu dikasih tau! Lagian si Alfa-alfa itu gak penting banget."
"Yakin gak penting? Mana tau di masa depan dia jadi orang yang penting buat kamu, lho." godaku saraya menyenggol lengannya.
"Iya, sebagai pembantu misalnya. Kan penting tuh, buat beresin rumah aku."
"Nanti kamu beneran jodoh sama Alfa baru tau rasa!" Aku kembali tertawa. Astaga, aku baru tahu bahwa menggoda orang itu sangat menyenangkan. Pantas saja dulu Embun suka mengolok-olokku dengan Fajar atau dengan Guntur.
"Jadi bener kamu dibully Mentari?"
Seketika tawaku terhenti. Raut wajahku sudah berubah menjadi datar. Seketika aku merutuk dalam hati. Mengapa Embun bertanya itu di saat aku sedang bahagia seperti ini? Aku mengangguk pelan sebagai jawaban. "Darimana kamu tau?" sambungku.
"Udah jadi trending topic di Sky, tau."
Tubuhku menegang. Apa jangan-jangan Guntur yang menyebarkannya? Aish, anak itu... baik dekat maupun jauh, selalu mengusik ketentramanku. Sebenarnya, dia mau apa, sih? Hatiku? Perhatianku? Maaf, sudah ada yang punya.
"Tuh anak beraninya main di belakang, ya? Awas aja kalo sampai ketemu." geram Embun yang menyadarkanku dari lamunan.
"Udahlah, biarin aja. Toh sekarang aku udah sehat."
Embun berdecak, mungkin tak suka dengan ucapanku itu. "Banyak yang nyudutin dia, tapi gak sedikit yang simpati sama kamu. Sebenarnya aku rada kasian liat dia dibully satu sekolah, tapi aku rasa dia emang pantes dapetin itu."
Apa yang dikatakan Embun memang benar, banyak orang yang simpati kepadaku. Saat aku datang ke sekolah setelah aku libur satu hari, banyak yang menanyakan keadaanku. Aku bilang saja kalau keadaanku sudah membaik. Bahkan Alfa juga memberi rasa simpatinya padaku kemarin.
***
"Senja!"
Aku menghentikan langkahku dan menoleh ke belakang. Aku mengenali suara yang cukup khas di telingaku. Itu suara Alfa. Derap langkah datang mendekat ke arahku.
"Ada apa, Fa?"
"Eh, kok lo tau kalau gue Alfa?" tanyanya bingung.
Aku menggidikkan bahu. "Ya... cara aku buat ngenalin orang, ya gitu. Dari suara."
"Oo." gumamnya. "Pak, biar saya saja yang mengantar Senja ke kelasnya." ucapnya pada Pak Usman yang sedari tadi menemaniku.
"Eh, gimana non?" tanya Pak Usman padaku. Tugas Pak Usman bukan sekadar mengantar dan menjemputku dari sekolah, tapi juga memastikan aku selamat sampai tujuan. Selain karena dia khawatir dengan keterbatasanku, Ayah juga sudah mengamanahkan masalah yang satu ini kepadanya. Oleh karena itu, dia tak mudah percaya pada siapapun apalagi dengan orang yang baru dikenalnya. Wajar saja pertanyaan Pak Usman itu mengandung kecemasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.