Aku terbangun. Jantungku berdegup cepat, tubuhku mengeluarkan keringat dingin, seperti mengalami habis mimpi buruk. Detik berikutnya, seluruh tubuhku terasa sakit, terutama bagian kaki dan kepala. Aku meraba kepalaku, merasakan perban mengelilinginya. Setelah itu aku meraba tangan kiriku. Selang infus tertancap disana. Saat aku menggerakkan sedikit kakiku, aku langsung meringis kesakitan.
"Auh!"
"Kamu udah sadar, Ja?" Tanganku tiba-tiba digenggam erat.
"Aku di rumah sakit, ya?" Aku mengabaikan pertanyaan yang sangat klasik saat aku tersadar dari pingsan.
"Iya," jawab Fajar pelan. "Kamu mau minum?" tanyanya. Aku hanya mengangguk. Ada rasa lega saat air yang kuminum mengalir di tenggorokanku yang kering.
"Udah berapa lama aku pingsan?" tanyaku.
"Lima jam."
"Li-lima jam? Sekarang tengah malam dong?" tanyaku terbata-bata. Fajar menjawab iya. Mendengar jawabannya, aku menghela napas, "Kenapa kamu gak pulang? Ngapain kamu nungguin aku sampai tengah malam gini? Nanti kamu dimarahin orang tua kamu," lanjutku. Tentu saja aku menjadi tidak enak.
"Masa aku gak boleh jagain pacar yang lagi sakit, sih," jawabnya. "Lagian, aku udah minta izin, kok. Lagian aku disini sama ayah kamu. Sekarang, ayah kamu lagi pergi ke mini market."
Aku memaksakan senyumku. "Makasih udah jagain aku, ya."
"No problem." Fajar mengelus kepalaku perlahan. "Lain kali kalau kamu belum dijemput, kamu hubungin aja aku. Aku gak apa-apa tiap hari jadi tukang ojek kamu, asalkan kejadian ini gak terjadi lagi. Aku mohon berhenti−"
"Kak Surya mana, Jar?"
Pertanyaan spontan yang kulontarkan membuat kamarku menjadi lengang. Fajar terdiam. Lama sekali aku menunggu jawabannya.
"Mana Kak Surya, Fajar?" ulangku, tidak sabar menunggu jawabannya. Ucapan Fajar yang panjang lebar itu sontak membuatku ingat kenapa aku bisa sampai ke tempat ini. Semuanya berawal dari janji Kak Surya, menunggunya sampai malam hari, hujan turun, aku terjatuh lalu pingsan. Singkatnya, aku sampai kesini karena menanti dan menagih janji Kak Surya.
Satu pertanyaan dalam otakku, di mana dia sekarang di saat aku terluka karena janjinya?
Fajar menghela napasnya, "Kakak kamu belum pulang sejak tadi. Ponselnya juga gak aktif, jadi kami gak bisa hubungin dia. Kami udah cari dia kemana-mana, tapi gak ketemu."
Mataku terasa panas. Tanpa kuminta, air mataku jatuh begitu saja. Aku terisak. Penjelasan Fajar tadi, aku bisa menarik kesimpulan yang membuat hatiku sakit.
Kak Surya benar-benar membenciku.
"Hei, kamu kenapa nangis?" tanya Fajar lembut.
"Kamu tau, Jar?" tanyaku diselingi isakan. "Kak Surya gak akan pernah sayang sama aku, gak akan pernah peduli sama aku. Dan selamanya, dia gak akan pernah menganggap aku sebagai adiknya. Sekuat apapun aku berusaha untuk meperbaiki hubungan ini, dia gak akan pernah berubah."
Fajar hanya bisa mengusap bahuku. Dan aku masih terus menangis. Menangisi hidupku yang dibenci oleh kakakku sendiri, Surya Aldrin.
***
Aku dipaksa istirahat oleh Fajar dan ayah setelah aku menangis hebat. Saat aku bangun, Bunda yang pertama kali menyambutku. Bunda mengajakku sarapan. Aku mengangguk, mengiyakan ajakan Bunda. Rasa sakit ini membuat perutku benar-benar lapar.
"Anak Bunda jangan nangis terus. Nanti jelek, lho," candanya.
"Sekarang kan, aku gak nangis," elakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.