"Wah, ikan bakar!"
Seruan itu datang dari Kak Surya yang baru pulang kantor. Ya, setelah resmi mendapatkan gelar sarjana teknik sipil, dia mendapat tawaran bekerja di salah satu perusahaan. Selain itu, dia juga sedang sibuk mencari beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya dengan menempuh S2 di luar negeri. Bunda sebenarnya tidak mengizinkan karena Bunda takut Kak Surya akan terbawa arus pergaulan yang buruk di luar negeri nanti, apalagi Kak Surya ingin ke Amerika. Namun, Kak Surya tidak henti-hentinya meyakinkan Bunda.
"Makan dulu, Surya. Nanti ikannya abis dimakan Ayah."
Ucapan Bunda membuat Ayah terkekeh, "Abisnya ikan bakarnya enak banget."
Si penggemar ikan bakar itu langsung mengambil tempat di sampingku. Dia terdiam saat melihatku termenung dengan piring yang masih penuh.
"Kok diem aja, Dek? Gak suka, ya, sama ikannya?" tanya Kak Surya.
Aku menggeleng.
"Terus, kenapa ikannya-"
"Kakak tau di mana Fajar sekarang?" potongku.
Entah ini perasaanku atau memang kenyataan, Kak Surya menegang mendengar pertanyaanku. Meja makan menjadi hening. Ayah dan Bunda serempak menatapku dan Kak Surya bergantian.
"Emang selama ini Senja gak ada ketemu Fajar?" tanya Ayah setelah keheningan menyelimuti kami satu menit.
Aku menggeleng. "Fajar bilang, dia bakal kasih aku kabar. Tapi ini udah dua bulan lebih setelah operasiku dan aku belum juga dapat kabar dari dia."
"Sejak Kakak nelpon dia untuk ngasih tau soal operasi kamu, Kakak gak ada ngehubungin dia lagi."
"Aku cuma tanya keberadaan Fajar." Aku menatapnya lurus.
Kak Surya menghela napasnya, "Kakak beneran gak tau, Ja. Kakak juga lost contact sama dia."
"Kakak pasti bohong."
Semua kebisingan seakan teredam setelah perkataanku.
"Kenapa semua orang bersikap seolah-olah gak peduli sama keanehan Fajar? Pura-pura lupa sama Fajar? Aku yakin, at least Kakak sama Embun tau Fajar di mana. Tapi kalian malah ikutan aneh kayak gini. Aku tanya A dijawabnya B."
"Bukannya gitu-Ja, dengerin Kakak dulu."
Terlambat, aku sudah membanting pintu kamarku.
***
Aku memandang papan tulis dengan tatapan kosong. Materi tentang sel sama sekali tak masuk ke dalam otakku. Hanya karena satu hal. Fajar Rawikara. Ya, dia yang menutup otakku seakan hanya dia yang boleh menguasai pikiranku.
Ini sudah genap tiga bulan setelah operasi donor mataku. Dan sosok Fajar belum juga kutemukan. Rasanya aku sudah mengobrak-abrik seluruh tempat, bertanya ke sana-sini, tapi aku masih belum menemukannya. Sialnya, aku tidak tahu alamat rumah Fajar. Guntur mungkin tahu. Namun, setelah kejadian di lapangan itu, aku sebisa mungkin menghindarinya.
Aku sudah memaafkan Guntur karena kejadian dia menembakku yang kedua kalinya. Meski kuakui, banyak hal mengganjal waktu itu.
Apa jadinya kalau saat itu Alfa tidak datang dan menghadiahkan bogem mentah di pipi Guntur? Apa yang akan Guntur katakan padaku? Aku yakin, ada sesuatu hal penting yang ingin Guntur sampaikan.
"Senja, bisa kamu jelaskan kembali bagian-bagian yang membedakan sel hewan dan tumbuhan?" Suara lantang milik Bu Fatma menyadarkanku. Kini, seluruh tatapan mata tertuju padaku.
Aku menegapkan punggungku dan menjawab pertanyaan Bu Fatma dengan tenang, "Dinding sel, sentrosom, vakuola, kloroplas, dan lisosom. Sentrosom dan lisosom hanya ada pada sel hewan, selainnya hanya ada pada sel tumbuhan. Khusus vakuola, sel hewan memiliki vakuola yang lebih kecil daripada sel tumbuhan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.