#15 Senja

774 44 8
                                    

"Maaf,"

Lirihan itu membangunkanku dari tidur. Tak sampai disitu, aku merasakan sesuatu menyentuh kepalaku. Atau lebih tepatnya mengelus kepalaku dengan lembut.

"Maaf untuk semuanya, Senja."

Keadaanku masih setengah sadar sehingga aku tak bisa mengenali suara ini. Siapa orang ini? Kenapa dia terus meminta maaf kepadaku? Baiklah, sekarang aku harus berkonsentrasi lagi. Aku harus bisa mengenali suara ini.

Harapanku pupus saat mendengar pintu kamarku tertutup. Orang itu sudah pergi.

***

Ayah dan Bunda tak mengizinkanku pergi ke sekolah. Tubuhku belum sepenuhnya pulih. Aku setuju-setuju saja. Tapi ada satu hal yang sangat kubenci kalau aku tak pergi sekolah yaitu aku tak melakukan apapun dirumah. Orang normal mungkin bisa menonton televisi, bermain ponsel atau bersih-bersih rumah. Kalau aku? Cuma duduk di kasur, baca buku dengan tulisan braile yang sudah ratusan kali kubaca, makan, tidur ya... begitu terus sampai Mentari minta maaf.

Ngomong-ngomong soal Mentari, aku jadi ingat kejadian kemarin dan Fajar. Entah bagaimana jadinya kalau Fajar tak menelponku pada saat itu. Mungkin baru pagi ini aku ditemukan di toilet. Dan saat aku sadar, suara Fajar juga yang kudengar. Masih kuingat seberapa lembutnya dia memanggilku, seberapa sabarnya dia mengobatiku, dan seberapa hangat pelukan yang dia berikan kepadaku. Pelukan itu seperti penyembuh dan penenang. Aku tersenyum saat mengingat janjinya. Fajar yang berjanji akan selalu ada bersamaku. Berkali-kali aku bertanya, benarkah itu? Aku merasa, semua itu sangat nyaman. Terlalu nyaman malah.

Saking nyamannya, aku sampai tertidur dipelukannya.

Aku menepuk kedua pipiku yang terasa panas. Kedua sudut bibirku tak mau turun. Astaga, ini masih pagi, kenapa juga aku mengingat yang satu itu?

Tok... tok....

Ketukan pintu membuatku tersadar dari fantasiku. Akupun berseru memanggil orang itu masuk.

"Halo, Senja."

Aku melongo sebentar lalu berseru. "Fajar?!"

"Kaget, ya?" tanya orang itu. Kudengar derap langkah mendekat ke arahku. Aku tak percaya dengan kebetulan. Tapi, apa boleh aku sebut ini sebagai kebetulan?

"Ya kagetlah! Masa kamu disini? Kamu gak sekolah?"

Fajar terdiam. Karena terlalu lama berpikir, aku menuduhnya. "Kamu bolos, ya?"

Kudengar Fajar menyeringai. "Hehehe, sekali-kali gak apa-apa, kan?"

"Ih, gak boleh gitu! Gimanapun juga kamu harus sekolah!"

Fajar tertawa. "Aku bercanda kok. Kebetulan sekolah aku hari ini diliburkan."

Aku terdiam sebentar lalu ber-oh ria sambil menganggukkan kepalaku tanda mengerti. "Bener, ya, kamu gak bolos?" tanyaku lagi.

"Iyaa, beneran." jawabnya meyakinkanku. Terdengar derit kursi di samping kasurku. Fajar mengambil posisi duduk dekat denganku.

"Dan kamu," Fajar mencubit pelan hidungku. "Gimanapun juga kamu harus makan. Bunda kamu bilang, kamu belum makan dari tadi malam. Jadi aku bawain bubur buat kamu." ucapnya.

Aku menggeleng. "Aku gak laper."

Tapi setelah itu, perutku mengeluarkan suara yang nyaring. Aku menyeringai lebar.

"Mulut kamu bisa bohong tapi perut kamu gak." kekehnya. "Oh, kamu mau aku suapin, ya?"

Kini giliranku terkekeh. "Aku masih bisa makan sendiri, Jar."

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang