#25 Embun

544 40 11
                                    

Sebelumnya, aku mau ucapin TERIMA KASIH BANYAK sama kalian yang udah mau nungguin SdF sampai sejauh ini. Jujur, aku sebenarnya gak mau gantungin kalian sampai berbulan-bulan. Tapi, aku memang gak bisa ninggalin dunia nyata. Belum lagi, aku gak lulus SNMPTN dan harus jadi SBMPTN fighter. MOHON DOANYA YA, SUPAYA AKU BISA LULUS SBMPTN. AMIIIINNNN.

Aku juga minta maaf kalau part ini terlalu pendek buat kalian. Setelah UN, aku mencoba untuk membangun mood lagi dalam menulis. Dan ternyata.... itu susah banget dilakuin.

Sekali lagi terima kasih dan happy reading ❤

***

Penyesalan.

Akhirnya aku mengalami itu.

Fajar tidak berbicara apa pun kepadaku. Dia masih mengantarku ke dalam rumah, tetapi dia tidak berpamitan seperti biasa. Dia hanya menyalami Bunda dan beranjak pergi. Bunda mengantarkanku ke kamar. Saat pintu sempurna ditutup, tangisku pecah. Pertahananku sempurna roboh.

Bukan karena rasa kasihan itu.

Tapi karena rasa penyesalan.

***

Pagi ini, udara cukup sejuk. Aku sengaja duduk di jendela kamarku agar aku bisa merasakan embun yang membungkus pagi. Kalau memang aku tidak diizinkan untuk melihat, maka izinkanlah aku untuk merasakan fajar yang merangkak naik, menghangatkan pagi.

Sekarang hari minggu, makanya aku santai-santai saja. Tiba-tiba saja aku merasa sedih. Biasanya, setiap minggu pagi, aku duduk di depan rumah, bukan di jendela kamar. Menunggu Embun menyelesaikan lari paginya.

"Selamat pagi," sapa Bunda.

Aku menoleh ke belakang. Memasang senyum terbaikku, "Pagi, Bun."

"Pasti belom mandi," celetuknya. Aku hanya terkekeh mendengarnya. "Ini Bunda bikinin cokelat panas."

Aku menerima cangkir tersebut dan mengucapkan terima kasih.

"Jangan sedih terus, dong."

"Siapa yang sedih?" elakku sambil memaksakan senyum.

"Kamu," jawab Bunda tepat sasaran dan berhasil membuatku bungkam. Dengan lembut Bunda mengelus rambutku. "Sepintar apa pun kamu menutupi kesedihan kamu, Bunda pasti tau. Karena apa? Karena Bunda yang paling tau kamu."

Aku langsung terdiam mendengar perkataan Bunda.

"Berantem sama Kak Surya lagi?"

Aku mengangguk. "Sama Fajar. Embun juga."

Bunda diam. Aku tahu, diamnya adalah kesiapannya menjadi pendengarku.

"Senja kecewa, Bun. Senja marah dengan kenyataan," ucapku. Aku menarik napas. "Yang hanya bisa Senja lakukan saat itu adalah marah untuk melampiaskan kekecewaan Senja. Kak Surya juga kena semprotan Senja. Terus sampai ke Alvin, Embun dan puncaknya sama Fajar. Fajar terus menenangkan Senja, bilang kalau dia akan selalu ada buat Senja. Tapi, Senja udah terlanjur gelap mata. Dan akhirnya.... kami berantem."

"Jadi, sampai sekarang kalian belum baikan?" tanya Bunda yang kujawab dengan anggukan.

"Senja marah dengan kenyataan karena pendonoran itu, Bun. Dulu, Senja menolaknya karena ancaman Kak Surya. Sekarang, di saat kami udah baikan, pendonor mata Senja malah pergi. Apa salah Senja sampai-sampai Tuhan tega menghukum Senja kayak gini, Bun? Apa Tuhan gak mengizinkan Senja untuk melihat?" tanyaku lirih.

"Kalau Senja marah dengan kenyataan, berarti Senja gak bersyukur sama Tuhan."

Deg. Satu kalimat itu sukses membuatku tercekat.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang