#24 Fajar

759 45 11
                                    

Sarapan hari ini terasa sunyi, masih sama seperti seminggu lalu, sejak aku keluar dari rumah sakit. Kabar tentang pendonor mata yang memutuskan untuk pergi, membuatku menjadi pendiam. Kabar itu menarik seluruh senyum yang kutampakkan setelah Kak Surya meminta maaf. Terkadang, kalau aku tidak bisa mengontrol emosiku, aku akan marah-marah atau ucapanku akan sepedas cabai terpedas di dunia.

Hanya keluargaku yang tahu pasal batalnya pendonoran mataku. Fajar, Embun dan lainnya tidak tahu-menahu soal ini karena aku yakin banyak orang yang kasihan padaku dan itu akan memperparah rasa sedihku. Sekarang ini, Ayah dan Kak Surya sedang berusaha untuk mencari pendonor mata yang baru. Meskipun begitu, aku tahu hal itu tidak mudah untuk dilakukan.

"Kakak yang anterin kamu, ya?" tawar Kak Surya tanpa basa-basi. Aku hanya mengangguk.

Dalam perjalanan, hanya suara radio yang terdengar. Aku sedang tidak ingin berbicara mengenai apapun, khususnya tentang pendonoran mataku.

Tanpa aba-aba, Kak Surya memulai ceritanya. "Kakak lagi naksir cewek, lho. Cantik, kayak bule."

"Gak ada yang bilang Kakak lagi naksir cowok," balasku datar. Ya iyalah, di mana-mana, cowok naksir cewek, cewek naksir cowok. Kecuali kalau dia−ah sudahlah.

"Ih, Kakak lagi serius tau!" serunya.

"Ya, aku juga serius, Kak!" balasku. Kak Surya menghela napasnya. Butuh kesabaran ekstra kalau menghadapi Senja yang sedang kesal. Daripada kami kembali perang dingin, aku berinisiatif untuk bertanya, "Namanya siapa?"

Kak Surya terkekeh, "Itu dia, Kakak lupa tanya namanya."

"Naksir cewek tapi gak tau namanya," gumamku pada diri sendiri. "Masa gak sempat tanya nama doang? Gak gentle banget."

Kak Surya menoyor kepalaku pelan, "Kan Kakak udah bilang kalau Kakak lupa. Bukan berarti Kakak gak berani tanya."

Aku memasang wajah cemberut sebelum aku memeberinya nasihat. "Kalau naksir orang itu, harus liat hatinya, baik atau gak. Bukan liat tampang. Kasian yang jelek. Udah jelek, gak laku pula."

Kali ini Kak Surya menyentil bibirku, "Ih, jaga mulutnya! Untung yang denger Kakak aja."

Aku mengusap bibirku. Sentilan Kak Surya lumayan sakit juga. Suara siaran radio kembali memecah keheningan kami untuk sementara.

"Ternyata gak gampang, ya, cari pendonor mata," celetuknya. Kali ini aku memilih diam, tidak minat menanggapi ucapannya. Entah kenapa suasana sudah menjadi canggung.

"Kakak benar-benar nyesal, Ja." Kak Surya menghela napas. "Harusnya dulu Kakak gak menghalangi kamu untuk melakukan operasi pendonoran mata itu."

"Udahlah, Kak. Itu udah lewat, jangan dibahas lagi," potongku. Aku mulai gerah dengan perbincangan ini. Kak Surya memilih bungkam.

Sesampainya di sekolah, Kak Surya mengantarkanku ke kelas seperti biasa. Tak jauh berbeda dengan di rumah, di sekolah pun aku jadi tak acuh. Embun juga tidak mengajakku berbicara. Sepenjang pelajaran berlangsung, kami tidak berbicara apapun meskipun hanya sekedar menanyakan jam berapa atau meminjam penghapus. Setelah bel istirahat berbunyi, Embun mengajakku ke kantin. Aku hanya bisa mengangguk.

"Kamu mau apa?" tanya Embun sesampainya kami di kantin.

"Es teh aja."

Tanpa banyak bicara, Embun pergi memesan. Aku jadi sedikit kesal, kenapa Embun tidak menyadari perubahan sikapku? Ini sudah satu minggu, tidak mungkin Embun tidak menyadarinya, kan?

"Hai, Ja," sapa Alvin, mengganggu lamunanku. "Sendiri aja, mana Embun?"

Aku mendengus. Tuh, kan! Ujung-ujungnya cariin Embun!

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang