Aku sibuk mendengarkan musik lewat earphone. Sesekali meneguk es teh lewat sedotan. Kalau sudah di kantin, perhatian Embun hanya ada pada makanannya. Melupakanku yang ada di depannya. Menyebalkan.
"Eh, Senja." panggil Embun sambil menepuk pelan lenganku.
Aku mencabut earphoneku. "Apa? Udah selesai makannya?" tanyaku sewot.
"Udah." jawabnya santai. "Nanti aku mau nonton final basket putra nanti sore. Mau ikut gak?"
Aku berpikir sejenak. Aku sih, pengen. Tapi, buat apa nonton kalau aku sendiri tak bisa melihat pertandingan itu dengan mataku? Semangatku langsung menguap. Aku mendesah pelan. "Gak deh."
"Kalau kamu gak mau nonton karena gak bisa liat langsung, aku bakal ceritain ke kamu, deh. Kayak komentator gitu."
Ya... boleh juga sih. Tapi kan, jadinya gak seru!! "Gak usah, Bun. Gak mood keluar rumah." jawabku malas.
"Buat nemenin aku aja, pliiis. Masa aku sendirian nonton basketnya? Keliatan dong, jomblonya." pintanya lagi.
Aku menggeleng lagi.
"Yakin, nih?" Aku mengangguk mantap.
Embun berdecak. "Ckckck, sayang banget. Padahal Guntur main loh. Rugi kalau gak nonton."
Deg.
Jantung sialan! Kenapa setiap kali nama Guntur disebutin lo berdetak gak karuan, sih? rutukku. Catatan, aku jarang sekali menggunakan gue-lo. Kalau sudah begini, itu artinya aku sedang kesal setengah mati.
"Setidaknya, masa muda kamu itu diisi dengan kesenangan lain. Bukannya sama ensiklopedia sama buku sejarah yang udah usang itu."
Aku terdiam. Bukan karena Embun menyinggung tentang ensiklopedia kesayanganku, tapi karena ucapan tentang masa mudaku. Embun benar, masa mudaku hanya dihabiskan dengan belajar dan membaca. Tak melakukan kesenangan lain seperti anak muda zaman sekarang. Sesekali.....
Ah, aku benci kalau sudah bimbang seperti ini!!
Suara bel masuk berbunyi. Kurasa, Embun sudah berdiri. "Ya udah kalau kamu gak mau, aku gak maksa, kok." Embun melanjutkan. "Ayo kita kekelas."
Aku tak bergeming di kursi. Embun pasti menatapku bingung. "Kenapa, Ja?"
Aku memasang senyumku lalu berdiri. "Ayo kita nonton basket nanti sore."
***
RIBUT BANGET!!!!
Sumpah, demi apapun, aku tak nyaman dengan suara riuh penonton ini. Apalagi ketika suara cewek-cewek yang melengking melebihi Candil mampir ke telingaku. Astaga, aku baru tahu ada manusia sejenis itu di bumi ini. Aku duduk seperti cacing kepanasan. Ini sangat bertolak belakang dengan habitatku yang tenang dan sunyi. Baiklah, ini kali pertama dan terakhir aku menonton acara seperti ini.
"Yang sabar ya, Senja." ujar Embun di telingaku. "Aku pernah di posisi kamu, kok."
"Pernah di posisi aku?! Terus ngapain kamu juga ikut-ikutan teriak gak jelas begitu?!" tanyaku tak terima.
"Guntur cetak three point lagi, gimana gak heboh coba?" Kudengar suara riuh lagi dan Embun bersorak. "Guntur cetak poin lagi, Senja!! Ayo Guntur!!"
Bisa kupastikan matanya sedang berbinar-binar. Guntur itu siapa, sih? Sampai-sampai membuat semua orang gila kayak gini? Bisa membuat jantungku berdetak tak karuan. Aku mendengus kesal. Rasa kesalku lebih besar daripada detak jantungku ini. Kali ini aku bisa mengendalikannya dengan baik.
"Ini ngebosenin tau gak." ketusku.
"Terus, didiemin dua jam di perpustakaan itu gak ngebosenin? Harusnya, kamu merasakan apa yang aku rasakan waktu itu."
"Oh, jadi maksud kamu ngajakin kesini cuma buat balas dendam?" tanyaku sinis.
"Gak juga, sih." gumam Embun.
"Terus, apa maksud kamu-"
"ASTAGA, GUNTUR JATUH!" pekik Embun.
Aku kaget. Kasak-kusuk terdengar. Mungkin karena jatuhnya Guntur. Kenapa dia bisa jatuh? Apa dia baik-baik saja? Jujur, aku jadi cemas padanya.
"Guntur jatuh karena disenggol lawan terus tangan kirinya terbentur tiang ring basket." jawab Embun menjawab kekhawatiranku.
Astaga. Apa dia baik-baik saja disana? Apa tim paramedis sudah datang menyelamatkannya? Tuhan, tolong selamatkan dia.
"Lututnya juga berdarah, Ja."
Aku menggigit bibirku. Kekhawatiranku menjadi-jadi. Kalau Tuhan berbaik hati, aku ingin melihat keadaannya selama sepuluh detik agar kekhawatiranku mereda. Entah dorongan dari mana, kedua sudut bibirku terangkat. Seperti naluri, aku hanya ingin menyemangatinya lewat senyumanku. Tiba-tiba, Embun menyenggol lenganku. Bersorak heboh.
"Senja, Guntur liatin kamu!"
"Ah, masa?" tanyaku tak percaya.
"Aku gak bohong!"
Apa itu benar? Guntur sedang melihatku? Apa kekhawatiranku sebesar itu sampai-sampai dia bisa merasakannya? Embun mengatakan dia membalas senyumanku lalu bangkit berdiri.
Dengan lutut yang masih berdarah.
Semua orang langsung bersorak menyemangatinya. Embun bilang kalau Guntur tak mau digantikan. Dia ingin memenangkan pertandingan ini sampai selesai.
Pertandingan sudah selesai. Supporter dari sekolah kami bersorak senang. Sekolah kami juara. Embun mengatakan semua orang dari tribun berlari ke lapangan. Guntur dielu-elukan bak pahlawan. Tubuhnya diangkat oleh teman-temannya. Dia memang pantas mendapatkannya. Dan dengan semangat pantang menyerah seperti itu, dia berhasil menjadi MVP di pertandingan ini.
Apa itu karena aku? Berkat rasa khawatirku padanya? Berkat doaku untuknya?
***
Embun dipanggil ke ruang majelis guru saat kami sedang mengobrol di taman sekolah. Entah urusan apa, katanya penting. Jadilah aku sendirian disini.
Aku meraba huruf-huruf braile di buku ensiklopediaku. Menambah sedikit wawasanku tentang bumi dan seluruh jagat raya. Dan itu, membuat rasa penasaranku terhadap wujud bumi semakin membesar.
"Hai,"
Tunggu, ini bukan suara Embun. Masa suara Embun berat begitu? Apa jangan-jangan ini om-om pedofil yang ingin menculikku? Aku bergidik ngeri.
"Si-siapa kamu?" tanyaku. Aku langsung bersikap waspada.
"Gue masih siswa disini, kok. Lo tenang aja."
Aku bisa merasakan orang yang kukira pedofil ini duduk di sampingku. Dia mengatur deru nafasnya. Dia mulai bertanya padaku.
"Lo Senja, kan?"
Aku hanya mengangguk.
"Lo lagi baca buku, ya?" tanyanya lagi.
Gak, lagi makan kecoa!! Namun, berlainan dengan hatiku aku menjawabnya dengan anggukan lagi.
"Bukunya unik." komentarnya.
Aku tak menjawab apapun. Ingat, pesan Ayah. Tetap waspada. Orang-orang seperti ini patut diwaspadai karena dia akan memanfaatkan kelemahanku untuk berbuat hal kriminal.
Kudengar dia tertawa pelan. "Gak usah takut sama gue. Kan, gue udah bilang, gue masih siswa disini."
"Kalau gitu, nama kamu siapa?" tanyaku ketus.
Sungguh, jika aku sudah tahu namanya, aku akan menandainya dan kalau perlu aku meminta Embun untuk mencari tahu siapa sebenarnya orang menyebalkan ini yang sudah mengganggu hariku.
"Harus gue kasih tau, ya?"
"Harus!" seruku.
"Oke deh, Miss Pemaksa. Nama gue Guntur Sentosa. Orang yang berhasil menjadi MVP kemarin karena senyum di bibir manis lo."
Seketika, lututku terasa lemas.
Tbc........
Don't forget to leave vote and comment good readers!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja dan Fajar
Teen FictionFirst story of Sky Trilogy Hanya tiga hal yang membuat Senja penasaran: bumi, pemandangan senja, dan sosok Fajar. Copyright © 2016 by lavendelion. All rights reserved.