#28 Embun

456 47 12
                                    

Jadwal ujian sudah berakhir. Namun, kami masih bersekolah karena ada kegiatan class meeting sebelum pembagian rapor. Ya, acara itu memang ampuh untuk melepas kejenuhan belajar selama enam bulan terakhir.

Aku dan Embun tidak ikut class meeting ini. Aku tidak dipilih, ya, tentu saja karena kekuranganku, sedangkan semua orang tau kalau Embun tidak berbakat dalam memukul bola voli dan menggiring bola basket. Gadis satu itu lebih berbakat menuangkan cat di kanvasnya dan menggoreskan pensil di sketch book-nya.

Embun mengajakku nonton pertandingan basket. Karena kelas kami belum main, aku pikir tidak ada salahnya duduk di sini mendengarkan teriakan penonton. Pertandingan yang sedang kami tonton adalah kelas X IPS 2 melawan XII IPS 1.

Aku langsung mendengus. Pantas saja Embun bersemangat mengajakku ke mari. Rupanya yang bermain adalah sang pangeran berkuda putihnya, Alvin.

"Jadi kamu cuma pengen liat Alvin doang?"

"Gak sekedar liat, Senja. Aku udah janji sama Alvin buat dukung dia tanding basket hari ini."

Aku langsung mendengus. Sedangkan Embun memilih tidak peduli dan kembali meneriakkan nama Alvin.

Pertandingan selesai setengah jam kemudian—kami sampai di lapangan basket saat kuarter kedua. Kelas Alvin yang memenangkan pertandingan. Kami tidak beranjak dari duduk karena kelas kami akan bermain.

"Hai, Bun."

"Eh, Alvin."

"Makasih udah mau dateng buat dukung gue," ucap Alvin. Tuh kan, suara Alvin tidak menyebalkan seperti Alfa. Itulah yang—mungkin—membuat Embun jatuh cinta pada kembaran Alfa ini.

"Ah, bukan apa-apa, kok."

Seketika aku jadi jijik sendiri mendengar nada suara Embun yang sengaja dilembutkan.

"Lo mau nemenin gue sebentar ke kantin gak? Gue laper nih."

"Mau, kok. Tapi lo ganti baju dulu. Lo bau banget soalnya."

Aku sengaja terbatuk keras agar mereka tau bahwa sejak tadi ada orang lain di antara mereka. Tega sekali mereka kalau mereka akan pergi meninggalkanku.

"Eh, Senja. Gue pinjem Embun sebentar, ya. Gue udah minta tolong sama Guntur buat nemenin lo di sini." Alvin memberitahu. "Panjang umur tuh anak."

Kudengar derap langkah mendekat ke arahku. Pastilah itu Guntur.

"Aku pergi dulu, Ja."

Aku hanya melambaikan tangan. Guntur duduk di kursi tempat Embun duduk tadi.

Baik aku atau pun Guntur sama-sama hanyut dalam keheningan yang ramai. Penonton mulai bersorak-sorak meneriakkan jagoannya. Sedangkan aku dan Guntur malah terjebak kebisuan di dalamnya.

"Lo... mau operasi pendonoran mata, ya?" tanyanya mencoba untuk memulai topik pembicaraan.

"Kamu tau dari mana?"

"Fajar."

"Oh," gumamku sedikit kikuk. Suara itu terdengar berat diucapkan. "Iya, alhamdulillah. Doain supaya operasi aku lancar ya."

"Pasti. Nanti kalau lo udah liat muka gue, jangan terpesona, ya?"

Aku terkekeh. "Sok ganteng."

"Emang gue ganteng, kok."

"Terserah kamu," kekehku.

Percaya dirinya kembali seperti pertama kali kami berbicara. Namun, kali ini terdengar sumbang. Hambar, tidak selepas dulu. Entah kenapa Guntur yang sekarang terasa lebih kaku. Terlebih setelah aku berpacaran dengan Fajar. Salah satu sisi hatiku merasakan sedih.

Senja dan FajarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang