Duapuluh Sembilan

153K 11.5K 611
                                    

Keira's POV

"Lo gendutan."

Aku melotot dan menghadiahi cubitan di pinggang laki-laki menyebalkan satu ini.

"Sialan!" Omelku. "Tahu gitu, gue gak kesini deh."

Laki-laki itu tertawa dan merangkul bahuku, menggiringku kesofa ruang kantornya.

"Gitu aja ngambek lo!" Sindirnya. Dia berjalan kearah dispenser kecil dan berbalik menanyaiku, "Minum apa?"

"Air putih aja." Jawabku sambil memperhatikan ruang kantornya yang lumayan besar untuk seorang General Manager.

Laki-laki itu meletakkan segelas air putih di hadapanku dan menghempaskan bokongnya tepat di sampingku.

"Tumben ke kantor?" Tanyanya. "Tapi beneran deh Kei, lo gendutan. Kerjaan lo makan tidur doang ya?" Tanyanya tidak jera, dan kali ini aku menghadiahinya dengan jeweran hingga dia mengaduh.

"Lo tahu gak sih, berat badan itu topik sensitif untuk kaum perempuan! Masih lo bahas lagi. Dua kali dalam lima menit! Itu namanya cari mati!" Seruku sebal.

"Oh... lo termasuk? Gue kira kaga." Sindirnya sambil mengusap telinganya yang sudah memerah sambil terkekeh. "Eittts jangan pakai kekerasan! Nanti gue bisa biru-biru pas nikahan sama Alle." Dia sudah menjauhkan tubuhnya ketika aku sudah hendak kembali menyiksanya.

Aku mendengus. "Sok kecakepan lo!" Gerutuku sambil meminum air putih itu sampai kandas.

"Aus banget kayaknya adik gue?" Tanya laki-laki menyebalkan ini menahan tawanya. "Kenapa sih Kei? Sini sini, cerita sama babang Kenneth." Ujarnya menjijikan. Bahkan bahasa Indonesianya lancar sekali, padahal kami sudah lama meninggalkan Indonesia.

"Shut the fuck up, Kak! Gue lagi sensi!" Gerutuku lagi.

"Datang bulan nih kayaknya." Gumam Kak Kenneth pelan, tapi tidak cukup pelan hingga telingaku masih bisa mendengarnya. Aku memelototinya dengan tajam. "Iya, iya, kakak diam." Ujarnya lalu kembali berbisik, yang lagi-lagi tidak cukup pelan. "Ngapain dateng kesini kalau cuman mau diam-diaman."

"Kak!!!!" Seruku sebal.

"Aduh apa lagi sih? Diam salah, ngomong salah, bisik-bisik salah, untung nafas belom disalahin. Kalo disalahin juga sih udah deh, liwat kakak."

Aku tertawa mendengar gerutuan frustasi Kak Kenneth, terlebih bahasanya, "What language is that?!" Tanyaku masih tertawa.

"Nah kan ketawa juga. Ada gunanya juga belajar bahasa Sunda pas SD dulu." Ujarnya bangga.

Memang sih, daya tampung dan daya ingat Kakak kembarku ini sangat hebat. Sekali belajar saja sudah mengerti, beda sekali dengan otakku yang menurut Daddy, diturunkan oleh Mommy.

"Feels better?" Tanyanya yang masih mengamatiku terkekeh.

Aku mengangguk dan bergumam pelan. "Thanks to my pelawak Brother."

"Muji apa ngehina?" Tanyanya mencibir, membuatku gemas. "Lo beneran gak ada kerjaan lagi seperti apa yang Mommy bilang?" Tanyanya tiba-tiba secara random.

Kekehanku menghilang, berganti dengan senyum simpul. Aku mengangguk pelan. "Harapan lo juga kan, supaya gue berhenti dari dunia keartisan?" Tanyaku pelan.

"Tapi bukan begini caranya, Kei." Seakan bisa merasakan kesedihanku, kak Kenneth tersenyum simpul dan menggenggam tanganku. "Lo seharusnya membiarkan gue menghajar Nicholas sampai babak belur karena dia berani mempermainkan dunia lo."

"Ini bukan sepenuhnya salah Nicholas, Kak." Aku masih membelanya.

"Dan lagi, Lo! Lo kan tahu cerita Mommy dan Daddy dulu yang dimulai dengan kebohongan. Dan juga harapan Mommy dan Daddy supaya kita bisa belajar dari pengalaman mereka, bukan menirunya. Kenapa lo harus setuju sih Kei? Gue gak ngerti jalan pikiran lo!" Gerutu kak Kenneth.

My (FAKE) Fiancé [#DMS 4] | (MFFS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang