part 25

38 2 0
                                    

Hari ini tepat hari perayaan Festival besar besaran yayasan sekolah Anif. Sebagian murid banyak yang telah membincangkan tentang bagaimana keseruan yang akan di tandingkan dalam acara-acara tersebut. Banyak anak-anak yang sudah menyusun rencana agar tetap melihat acara tersebut walau dalam keadaan sekolah.

Anif berjalan menuju arah kelas dengan langkah kaki yang ia seret sehingga membunyikan gesekan sepatu miliknya dengan lantainya. Bunyi yang sebenarnya membuat sakit kepala, tapi Anif sangat mengecewainya. Ini seharusnya menjadi hari yang ia tunggu-tunggu. Karena harus bersaing dengan beberapa murid dengan membawakan lagu-lagu terbaik yang mereka punya.

Ketika ia sampai di kelas, banyak teman sekelahnya yang menghentikannya. Menanyakan sejauh mana persiapan yang ia lakukan untuk pertandingan itu.

Pov: Anif

Baru saja aku memasuki kelasku, dan kini mata semua tertuju padaku. Entahlah, apa yang di pikiran mereka saat ini. Aku rasa itu tidak penting bagiku, aku sudah sangat lelah menghadapi kenyataan ini.

"Asekk... yang mau tanding" ucap Dian teman cowok satu kelasku. Kini ia memecahkan keheningan. Darinya, kini muncul perkataan baru lagi.

"Ia.. Anif. Kalau juara, hadiahnya bagi bagi ya Nif!" Sambung yang lain dan di susul oleh tawa yang bahagia yang saling saut-sautan.

Mataku tertuju pada mereka-mereka, terlalu malas untuk membalasnya. Aku hanya tersenyum paksa kepada mereka dan meneruskan langkahku menuju bangku ku. Ternyata, hal itu menjadi sorotan satu kelasku. Mereka tampak kesal akan perlakuanku.

"Kenapa sih lo Nif?" Tanya sahabatku. "Harusnyakan lo senang, karena lo menjadi satu satunya murid di sekolah kita yang kepilih untuk mengikuti lomba itu. Andai aja aku bisa, aku akan menjadi orang yang paling bahagia sekarang." Ucapnya yang terlihat begitu gembira.

Mereka terlihat begitu sangat gembira. Lalu apa yang harus aku katakan pada mereka? Apa aku harus mengatakan kalau aku tidak bisa? Atau aku tidak usah mengatakannya? Tapi, cepat atau lambat mereka semua akan mengetahuinya. Lalu apa yang akan ku katakan sekarang?

"Aku tidak bisa mengikuti Festival itu" yah kalimat itu akhirnya yang dapat memecahkan keributan ini. Aku tidak ingin melihat ekspresi mereka. Yang terpenting aku sudah mengucapkannya.

"Ha? Apa?" Serentak hanya kalimat itulah yang dapat meneruskan kata-kata yang tidak dapat diterima. Semua terkejut akan kalimat tadi.

Aku memilih untuk diam dan tidak mengucapkan kalimat apa apa lagi. Kini aku membenamkan kepalaku di atas tasku, dan berpura cuek akan keadaan yang ku alami sekarang.

Serentak mereka semua membuat lingkaran setan dan mengerumuniku, dan membuat bertubi-tubi pertanyaan. Tapi, tidak satupun yang bisa ku jawab. Sampai satu panggilan dari ruang piket.

"Panggilan kepada Lianif untuk segera ke ruang piket!" Ucap salah satu seorang guru yang tidak ku ketahui. Kalimat itu terus di ulang-ulang sampai ketiga kalinya.

Akhirnya aku memilih bangkit bediri dari tempat dudukku, dan meninggalkan mereka yang masih setia menunggu jawaban dari mulutku.

"Aku harus ke bawah dulu.. ntar aja aku ceritanya!" Ucapku yang sok santai, padahal sesungguhnya banyak penyesalan di dalamnya.

Aku berjalan meninggalkan kelasku dan berjalan cepat ke arah ruang piket. Banyak pasang mata yang tertuju padaku, mungkin karen teriakan dari meja piket itu untukku.

Setelah hampir sampai, aku melihat dari kejauhan bahwa yang berdiri di sana adalah bu Santa. Entah mengapa perasanku menjadi campur aduk sekarang, namun aku terus melangkahkan kakiku dan mndekatinya.

MawarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang