Aldino membanting keras ponselnya dan benda itu hancur berkeping-keping. Dillana yang melihatnya terkejut sekaligus syok. Aldino mengacak rambutnya kesal, Papa nya benar-benar orang yang sangat egois.
"ARGH" Aldino meninju kaca rias yang ada dihadapannya dan dapat dipastikan tangannya banyak terdapat pecahan beling dan darah yang mengalir deras.
Dillana yang melihatnya membelalakan mata dan berusaha mendekati Aldino yang sedang kalap. "Kak tenang!" cicit gadis itu dan masih dapat didengar oleh Aldino.
Darah terus menetes dari tangan kanan Aldino dan dengan cepat Dillana mendudukkan suaminya itu dipinggir ranjang. Ia bergegas mengambil baskom serta air dan jangan lupakan kotak P3K.
Dillana merendam tangan suaminya itu di air dan mencabut pecahan beling yang masih menancap ditangannya dengan pinset. Gadis itu menangis tanpa suara.
Setelah memberikan alkohol dan obat merah, Dillana menutup luka itu dengan kasa. Sesekali gadis itu mengusap airmata nya dan hal itu membuat Aldino merasa bersalah. Dillana membereskan kotak dan baskom, ia ingin berlalu namun tangannya ditahan Aldino.
Aldino tersenyum tipis "gue yang luka, kenapa lo yang nangis" Aldino membimbing Dillana untuk duduk disampingnya.
Dillana menunduk, ia mencekram baskom itu erat "aku takut Kak, aku takut Kakak kenapa-napa dan...dan hiks.." Dillana malah menangis dan itu membuat Aldino sadar, bahwa gadis ini, terlalu mencintainya.
"gue gak papa" Aldino menarik gadis itu kedalam pelukannya, ia merasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhnya.
Setelah tenang, Dillana menarik diri dari pelukan Aldino yang terasa sangat memabukkan. Dan mengusap airmata nya.
"lain kali, kalo Kakak marah, jangan ngelakuin hal bodoh lagi ya" Dillana menatap Aldino serius. "Kakak udah dewasa, pasti bisa nyelesaikan masalah dengan kepala dingin"
Aldino kembali tersenyum dan mengangguk "thanks karena lo udah peduli sama gue"
Dillana mengangguk "kalo Kakak ada apa-apa, Kakak bisa curhat sama aku. Aku bisa menjadi pendengar yang baik"
Aldino mengacak rambut gadis itu dan kembali mengangguk. Perasaannya jauh lebih tenang sekarang.
***
"Dillana gak masuk?" tanya Gio yang sedari tadi memperhatikan sekeliling dan tak menemukan gadis itu.
"kayaknya enggak deh Gi, elah beruntung banget dia, karena Dosen kami gak masuk"
"loh, emangnya Dillana gak ngirim pesan apa sama lo?"
"nggak, tadi gue coba telepon tapi gak diangkat. Gak tau deh kemana" Tiana mengedikkan bahunya dan Gio hanya mengangguk saja.
"samperin aja yuk" tawar Gio dan mendapat gelengan Tiana.
"gak mau gue, ntar gue khilaf ketemu temen lo itu"
Gio mengacak rambut Tiana gemas "lo tuh ya, ada-ada aja"
"yeee, lo sih, punya temen tapi gak ada hatinya"
"lah, bukan salah gue dong, kenapa keselnya sama gue?"
"karena lo temennya!"
"tapi lo pacar gue"
"gak nyambung bego" Tiana menyentil keras jidat Gio dan tentu saja membuat pria itu meringis.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
My Destiny [✔️]
RomantizmAku fikir dia adalah takdirku. Karena jujur aku sungguh mencintainya sejak lama. Aku sangat menunggu akan hal ini. Kami menikah, dia menikahiku. Aku pikir karena memang dia mencintaiku. Ternyata aku salah, aku hanya menjadi tamengnya. Dan dia tak pe...