Part 2.3 ~Because It's You~

7.3K 456 22
                                    



Sam meringis ngilu, merasakan serat-serat halus handuk yang dingin pada ujung bibir yang sobek saat tangan kirinya menekan luka terlalu kuat. Sambil merutuk kecil, Sam menjauhkan handuk kompres dan menekan tombol remote control, asal. Hanya agar ruangan itu tidak terlalu terasa sunyi. Layar televisi menyala, menampilkan tayangan tentang seorang penyanyi dan selingkuhannya, bersamaan dengan deringan yang berasal dari laptop yang terbuka di atas meja kopi. Panggilan yang sudah Sam tunggu sejak beberapa jam lalu.

Sam meng-klik tombol di sudut layar dan seketika laman Skype terbuka lebar.

Pada bagian tengah muncul foto seorang pria dengan rambut-rambut halus di sekitar rahang. Pundaknya terlihat tegap dengan rambut ikal yang terpangkas pendek sedang memeluk seorang bocah laki-laki kurus. Keduanya tertawa lebar di antara jajaran bangku plastik warna biru laut bersusun khas stadium. Keduanya juga sama-sama mengenakan jersey merah dan memiliki mata berwarna hazel. Hanya warna cokelat pada rambut pria itu jauh lebih terang dua tone.

Dad, begitulah tulisan yang muncul di bawah foto.

Dua detik berikutnya, muncul wajah pria yang tampak berbeda jauh dengan foto. Rahang kokoh itu kini penuh dengan rambut—entah sudah berapa lama dia belum bercukur. Sapaannya menyusul di satu detik berikutnya, tercekat dalam suara yang berat saat mengganti kata 'halo' dengan 'Jesus Christ! What happened to your face?'. Air muka Ayah terlihat mengeras sementara siluet khawatir memendar di sekitar mata yang tenggelam di bawah alis lurusnya.

Sam mengedikkan bahu, menganggap ini bukan masalah penting. "Nothing." Sebaliknya, Sam justru menikmati mengamati Ayah yang senang menyelipkan rokok di antara jari telunjuk dan tengah. Siluet yang sudah satu minggu lebih ini hilang dari pandangan Sam.

Xby TurboMac

"Berantem?" Kedua mata yang tercetak sama persis pada wajah lonjong Sam, kini tengah menatapnya tajam.

"Just...," sahutnya dengan bola mata bergerak ke samping. Berharap agar Ayah tidak bertanya lebih banyak. "Helped someone out like you've always told me to do."

Ayah tidak langsung menjawab. Ada sesuatu dalam raut wajahnya yang tidak bisa Sam raba. Seakan berada di batas garis was-was juga pasrah. Sama seperti ketika Ayah mengantar Sam dan Ibunya menuju bandara Kennedy dengan Mercedes Benz keluaran 1983-nya. Dia hanya berhenti di tepi untuk menurunkan dan kemudian segera berlalu tanpa sepatah kata lagi, meninggalkan Sam dan Ibu dengan koper-koper besar.

"Kamu tidak pernah berantem sebelum ini."

Peter meyusupkan rokok ke dalam kotaknya seolah kehilangan minat terhadap gulungan tembakau itu. Segurat kekecewaan terukir di sana. Yang semakin membuat Sam tenggelam dalam rasa bersalah. Bukan karena dia menyesal telah menolong Bin, hanya saja menyesal karena telah mengirim pesan Skype beberapa saat lalu dan membiarkan Ayah melihat semua ini. Padahal Sam hanya ingin menuntaskan rasa rindu pada pria di dalam layar lima belas inchi itu.

Sam memainkan tangan yang saling terkait di antara lutut.

"I just... I miss you. Miss my home." Pundak lebarnya bergerak.

"Is that the best reason you've got? C'mon. We were talking about this, Buddy and I don't wanna... we can't turn something bad into something worst. You know what I mean, huh?" Kening Ayah berkerut dalam, membungkam Sam. Bagi Sam kerutan itu menjadi pengukur seberapa kecewa Ayah padanya. "Mamamu sudah tahu?"

"Mom isn't home yet." Sam memberanikan diri melirik kamera.

Ayah mendesah pelan. "Well, she must be busy on something as she always did." Ayah menoleh ke samping kanan kiri seperti orang ling-lung. Lalu meraih kembali kotak rokoknya dan mengeluarkan batang yang sama sebelum menyulut api di sana. Sam kenal betul gerakan itu. Ayah pasti juga sama, atau bahkan lebih, tertekan dengan situasi yang ada. Namun, ada pilihan-pilihan yang harus mereka korbankan. Hanya sialnya, pilihan itu terpaksa membuat mereka mengorbankan perasaan masing-masing.

Extended Goodbye [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang