Sewaktu kakeknya meninggal menyusul sang Nenek dan rumah dengan segala perabot bernuansa vintage kesukaan Kakek berpindah kepemilikkan, Ayah Sam pernah menyelamatkan sebuah piringan hitam—benda kesayangan beliau.
Melalui benda tua itu, Ayahnya kerap kali memutarkan musik-musik kesukaan Kakek seperti Lionel Richie atau Canon pada ruang tengah rumah Gorge Rd mereka. Khususnya pada musim dingin menjelang Natal. Diiringi Canon dari mesin pemutar musik, Sam dan kedua orangtuanya akan duduk di depan perapian yang menyala, menyesap kenikmatan teh yang kerap dikirim Tante Maya—adik Ibunya, dari Jakarta, sambil menikmati kue jahe buatan sang Ibu. Hingga terkadang mereka mengabaikan salju yang telah menumpuk, yang membuat mereka terjebak di dalam rumah.
Kemudian, pelan-pelan kebersamaan itu seakan meleleh seiring dengan piringan hitam Kakek yang mulai rusak dan tergerus oleh perkembangan zaman. Hingga berakhir dengan membawa Sam dan Ibunya kembali ke Indonesia. Di hari terakhir sebelum keberangkatan Sam ke Jakarta, Ayah pernah berkata kalau dia tidak tahu lagi bagaimana mendefinisikan kata pulang yang tepat.
Namun, ketika jari-jari mungil itu memetik senar, memainkan nada-nada Canon di dalam ruang berisi peralatan musik seperti keyboard, drum dan sederet gitar serta bass, Sam seolah baru saja diajak pulang untuk menikmati musim dingin yang hangat.
"Gue baru tahu kalau lo bisa main gitar," ujar Sam dengan kedua mata menyorot takjub sekaligus kagum pada Cassie.
Petikan nada berhenti seiring dengan Cassie yang menoleh menatap Sam. Cewek itu memamerkan senyum tipis. Sementara tangan kanannya membenahi susunan poni seolah dengan begitu bisa menyembunyikan semburat malu yang muncul.
"Nggak jago, kok," sahutnya pelan. "Oh ya, harusnya kita latihan buat tugas nyanyi kelompok, ya. Lo ada usul lagu apa? Atau mau nunggu Remi dari kantin?" tanyanya sambil sesekali menoleh ke pintu masuk.
Sam mengambil satu bangku, meletakkannya nyaris sejajar di depan Cassie yang seperti tidak merubah posisi duduk. Dengan menjadikan sandaran kursi sebagai tumpuan untuk kedua tangannya, Sam duduk seperti menunggang.
"Gue terserah." Sam mengedikkan bahu, sama sekali tidak keberatan. "Nggak masalah juga kalau diputusin sekarang. Lo suka lagu apa?"
"Hmm...," Cassie tampak berpikir sambil merangkul gitarnya. Matanya menerawang ke seberang ruangan, memperlihatkan bagaimana bulu mata lentiknya melengkung statis. "Gue suka lagunya Lionel Richie...."
"That one of my Grandpa's favorite song!" Sam menggumamkan wow dengan matanya yang melebar. "Hello, is that me you're looking for....?" Dengan nada yang kacau, Sam berusaha melafalkan satu baris lagu tersebut. "Isn't it?" Senyum Cassie semakin lebar. Hingga Sam hanya bisa menertawakan dirinya. "Okay, itu sangat memalukan memang. Gue nggak bisa nyanyi."
Cassie memaku senyumnya yang seolah usaha kerasnya untuk menahan tawa yang hampir lepas. "Lo masih tahu nada do, kok. Serius. Dan, itu ok."
Sam terkekeh pelan, bersyukur Cassie bisa menghargainya. "Thanks."
"Kalau lagu kesukaan lo sendiri emangnya apa?" Cassie bertanya dalam nada yang seolah-olah sedang menimang pertanyaan semacam; how's your family doing? Yang bagi Sam, pertanyaan semacam itu akan terasa retoris untuk ditanyakan.
"U2, I 've grown up with their music since my Dad is a fan of them."
Cassie pun menyebutkan beberapa judul seperti With or Without You, Electric Storm dan juga Sunday Bloody Sunday. Membuat Sam tidak bisa tidak takjub, lagi, akan selera Cassie terhadap musik. Karena mengenal sosok Cassie selama nyaris satu bulan ini, semula Sam mengira akan mendengar nama Westlife atau Backstreet Boys keluar sebagai jawaban. Cassie terlalu cute untuk kelas seperti U2 dan terlalu muda untuk kelas Lionel Richie, isn't she? Yang membuat Sam sadar penuh dengan perumpamaan; never judge a book by it's cover. Cassie telah menjabarkannya sendiri.
"Yeah..., yang ini...," Sam membersihkan kerongkongan, "I can't believe the news today, ohh, I can't close my eyes and make it go away...."
Sialnya, saat mencoba meniru suara Bono yang tinggi itu, Sam justru tersedak ludahnya sendiri hingga dia terbatuk. Namun, secepat kilat Cassie meletakkan gitarnya di salah satu bangku sebelum kemudian cewek itu bergerak ke samping Sam. Cassie berlutut di sisi kursi yang Sam duduki dan langsung menepuk-nepuk pelan punggung lebar Sam, sementara dari puncak kepala cewek itu mengalirkan aroma selembut vanilla. Yang entah bagaimana mematik sebuah memori tahunan lalu dalam kepala Sam.
Mungkin, usianya masih enam atau tujuh tahun.
Sam masih sangat ingat dengan aroma sirup maple merebak dari meja makan, bercampur pancake yang baru matang. Sam yang tidak ingin membuat jemputannya datang menunggu terlalu lama, menyantap sarapan dengan tergesa-gesa hingga membuatnya tersedak. Ibunya yang duduk di sebelahnya—memperhatikan Sam menyantap makanan, segera bergerak ke samping dan melakukan hal yang sama persis dengan yang Cassie lakukan saat ini.
Hanya saja, menjadi sebuah misteri bagi Sam tentang bagaimana Cassie mampu mengirimkan rasa nyaman ke dalam dirinya.
"Remi belum dateng juga dari kantin, ya? Padahal dia pasti bawa minuman, kan," Cassie kembali mengamati pintu masuk. Seperti berharap penuh sosok itu akan muncul.
Batuk Sam mulai mereda. "I'm okay, Cass," ujarnya di sela-sela.
Baru kali itu Sam melihat Cassie dari jarak sedekat ini. Mata cewek itu tidak sekecil yang selama ini dilihatnya, meski ujungnya sedikit mencuat ke atas. Wajahnya pun terlihat semulus kulit bayi, dengan sedikit rona pada tulang pipinya yang tinggi. Bahkan bibir Cassie terlihat lebih ranum dari yang selama ini dia sadari.
Begitu mata mereka bertemu di garis yang sama, mendadak Cassie terdiam. Untuk sekian detik, sebelum kemudian dia tiba-tiba menarik diri dengan berdiri. Seiring dengan siluet terkejut yang muncul di kedua bola matanya yang bergerak-gerak. Dia mengatupkan bibir.
"So, sori, Sam...." Cassie terlihat seperti orang yang kehilangan arah. "Ngng, gue cari Remi ke kantin dulu, ya."
"Cass...."
Panggilan itu berhenti bersamaan dengan langkah Cassie yang terpaku di pintu masuk. Sosok Remi muncul dengan dua kotak teh dan satu kemasan susu full cream.
"Sori, lama. Lo pada kenapa?" tanyanya dalam sorot mata yang aneh.
Sam menaikkan kedua alisnya. "Nothing."
Ketika Remi menyodorkan kemasan susu itu ke Sam, Cassie yang masih tampak seperti robot, memilih duduk dan mengambil gitar. Lalu jari-jari mungilnya kembali mengalunkan Canon ke udara. Bersamaan dengan susunan nada itu, Sam tidak bisa mengabaikan keinginannya untuk mengamati Cassie yang terlihat begitu meresap ke dalam setiap suara. Bahkan Sam tidak menggubris Remi yang berkata; "Gue ketemu Pak Danto dan dia nyuruh lo ke kantornya, nanti."
Karena saat itu Sam hanya ingin menikmati kata pulang. Ke rumah yang dia sebut masa lalu, dan keluarga yang dia samakan dengan makna rindu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extended Goodbye [Sudah Terbit]
Roman pour AdolescentsExtended Goodbye "Sekeping hati yang pergi sebelum berpisah" a novel by Clara Canceriana Samuel Christian Bailey yakin kalau dia tidak akan bisa melupakan kenangan tentang seorang malaikat kecil bernama Mika Angelique Setiawan . Si penggila...