Part 5.5 ~Back to You~

3.5K 287 5
                                        

"Psstt, pssst!!"

Sam menoleh ke belakang, ke arah bangku Remi melalui sisi lengan kirinya.

"Apaan, sih?" Remi menyahut pelan, berusaha menahan suara sambil melirik takut-takut ke depan kelas.

Pak Hari sedang sibuk menerangkan sebuah rumus menentukan reaksi bahan kimia dan tidak ada satu pun siswa yang berani mengalihkan pandangan dari papan tulis. Jangankan melirik ke belakang, untuk berkedip pun seolah tidak ada yang mau mengambil resiko. Hanya Sam yang sibuk menyemburkan Remi dengan pertanyaan-pertanyaan seputar halaman buku dalam bisikan pelan, tapi cukup untuk membuat Pak Hari dan penjelasannya berhenti.

"Sam, Remi, kalau kalian tidak mau mengikuti pelajaran saya, silakan keluar dari kelas dan jangan mengganggu teman-temanmu yang mau belajar."

Guru bertubuh sedikit gempal dengan rambut pendek yang mengembang seperti baru disasak itu, menatap Sam dengan dagu yang sedikit terangkat.

Sam membalas tatapan gurunya seolah menanti kelanjutan kalimatnya.

"Tunggu apa lagi? Kalian berdua boleh keluar," ujar Pak Hari.

Demi apa pun, berhasil keluar dari kelas Pak Hari seperti apa yang telah dia—dan Remi, rencanakan adalah sebuah anugerah yang patut Sam syukuri. Karena semula Sam menduga akan mendapat hukuman seperti mengerjakan soal di papan tulis, yang bisa dibayangkan kalau Sam akan menghabiskan dua jam pelajaran dengan berdiri di depan kelas. Dia sama sekali tidak paham Kimia.

Ditambah lagi Sam tidak sendiri. Menemani langkahnya, menuruni setiap anak tangga seperti dikejar waktu, ada Remi yang tengah mengacak-acak rambut frustasi dan membuatnya tertinggal dua langkah di belakang.

"Kimia gue, Sam!"

"Kita punya Cassie."

Remi melotot.

Sam tahu benar kalau sekolah adalah hal yang penting bagi Remi. Meski belum terlalu mengenal cowok itu, Sam bisa melihat keseriusan Remi dalam mengejar nilai nyaris di semua bidang, seakan mempertahankan peringkat teratas dan mengumpulkan sederet angka seratus—atau paling tidak sembilan puluh lima, dalam berbagai kertas ulangan akan membuat hidupnya lebih tenang.

Tapi, cowok yang nyaris tidak pernah absen dari kelas sebelum ini, kini sedang menemaninya mengendap-endap di lantai satu dengan mata mengawasi sekitar lorong, di mana deretan depan diisi oleh kantor guru, dari balik frame.

Sementara melalui jendela persegi berteralis bentuk garis-garis, Sam mencoba mengintip ke dalam ruang yang penuh file-file bertumpuk di atas sebuah meja kayu panjang dengan seperangkat komputer. Tidak terlihat seorang penanggungjawab berada di balik sana.

"Lo bener, Rem, nggak ada guru." Sam melirik Remi seperti ingin memberikan seluruh rasa terima kasihnya. Kalau bukan karena Remi yang memberi tahunya soal ruang data siswa, ide gila itu tidak akan muncul siang ini. "Nggak salah mengandalkan lo."

"Bakal lebih bagus kalau lo cepetan masuk, ambil data Mika dan terus kita kabur dari sini ke kantin, okay?" Remi merendahkan suara.

"Iya, gue tahu."

Sam mencengkeram handle pintu berbahan stainless dengan hati-hati. Begitu dia berhasil mendorong pintu tanpa menimbulkan sedikit pun suara berkerit, Sam memberi kode pada Remi dalam bisikkan rendah. Remi membalas dengan anggukan pelan, lalu membelakangi Sam dan memaku pengawasan penuh ke sekitar sementara Sam menghilang ke dalam ruangan.

Mata Sam langsung menjelajah salah satu lemari yang terbuat dari besi, dengan label berwarna putih bertuliskan nama-nama kelas. Pandangannya dengan cepat menemukan huruf Times New Roman membentuk kata IPS Tiga, berada di paling bawah.

Seperti dikejar sesuatu, Sam menarik laci itu, bahkan tanpa membiarkan otaknya berpikir. Deretan alphabet yang dimulai dari A pada lembaran kertas berbaris teratur. Jari panjang Sam bergerak dan memisahkan kertas lain dengan kertas yang memiliki huruf M. Tidak butuh waktu lama untuk menemukan nama Mika Angelique Setiawan di antara berkas lainnya.

Yes! Sam menarik sudut bibir kanannya tinggi.

Yang beberapa saat justru terjebak dalam kekaguman saat melihat foto ukuran tiga kali empat yang mencetak wajah Mika secara close up. Senyum Mika terlihat tipis, tapi matanya berbicara banyak dari satu ekspresi bahagia.

"Sam, buruan!" suara Remi dari balik pintu menyadarkan Sam kalau dia belum memindahkan data-data Mika ke dalam selembar kertas. Stupid, Sam membatin saat menyadari bahwa ponsel monochrome-nya terselip di tas ransel, di kelas.

Sam tidak menemukan kertas lain. Lebih buruk lagi, dia tidak punya waktu karena Remi terus berisik di luar sana.

Sam berdecak.

Ditariknya kertas itu dari barisan dokumen lalu dia lipat asal.

Sam baru saja memasukkan kertas itu ke dalam saku, mendorong laci dengan kaki kanan yang sayangnya tidak membuat laci itu tertutup rapat, tepat saat seorang pria muncul di balik pintu. Wajahnya menunjukkan curiga ketika Sam berdiri dan memasang cengiran lebar, sementara dari pundak guru itu Sam menemukan Remi mengatupkan bibir dengan kedua tangan seperti menyerah.

"Sedang apa di sini?"

Sam berusaha menjauh dari lemari susun itu, bergerak santai menuju pintu masuk seakan urusannya sudah selesai. "Um, tadinya menunggu Bapak. Mau... menanyakan..., um..., data. Tapi, sepertinya... Bapak nggak akan kasih tahu."

Guru itu mendekati Sam yang memasang ekspresi tidak bersalah.

"Oh, ya?" ujarnya, lalu menarik lembaran yang mencuat dari saku Sam. "Tepatnya, mencuri, begitu?" tambahnya dengan sorot mata tegas. "Siapa yang bilang kamu boleh tahu data siswa lain?"

Sam ingin memprotes dan mengambil kembali kertas itu dari tangan guru di hadapannya itu. "Pak, tapi saya...."

"Kamu bisa saya laporin ke kepala sekolah."

"Oh, c'mon," Sam mendengus. Dia menoleh ke arah Remi sedetik, sebelum kemudian menggerakkan bola matanya ke samping, membentuk kode-kode yang membuat Remi mengerutkan kening.

Seperti kilat, Sam pun bergerak menyambar kertas di tangan gurunya dan melesat keluar kelas sambil menyuruh Remi, yang terkejut hingga melongo satu detik, untuk berlari mengikutinya. Sam memimpin menuju salah satu toilet di bagian belakang sekolah, diikuti Remi. Keduanya segera menyelinap di balik bilik.

"Hah? Lo kunci?"

Sam mengerutkan kening. "I've no fucking intention to you."

"You'd better be."

"Good." Sam melebarkan lembaran kertas di tangannya yang sudah sedikit berkerut, "Sekarang gue harus cari cara supaya bisa mengingat alamat ini. Lend me a pen or something to write. Do you have it?"

"Gue nggak bawa, Sam."

"Great. Sekarang gue berharap otak gue secemerlang Albert Einstein supaya bisa mindahin deretan huruf ini ke otak."

"Kasih gue sini," Remi mengadahkan tangan, berusaha melunturkan pandangan tak yakin Sam yang menyodorkan kertas itu padanya.

Dalam hal ini, tidak sulit untuk mendapatkan sebuah kepercayaan. Remi hanya perlu membuktikan apa yang menjadi ucapannya. Bahkan dalam satu menit, ekspresi Sam berubah dan dia berkata thanks untuk apa yang Remi telah lakukan.

Tepat saat Remi selesai, pintu digedor dari luar.

Keduanya berjengit, kaget, lalu membeku satu detik.

"No other way out," ujar Sam sambil mengembalikan kertas itu ke dalam saku, sebelum kemudian memilih untuk membuka kuncinya. Sedangkan Remi hanya bisa memasang ekspresi pasrah menghadapi kelakuan Sam.

Sam tahu bahwa tidak seharusnya dia menyeret Remi dalam situasi tidak menyenangkan ini. Karenanya, Sam sempat membisikkan, "gue berhutang sama lo," ketika keduanya berjalan mengikuti Pak Danto yang memimpin dengan raut wajah berlipat lebih banyak daripada saat pagi ini Sam melihatnya.

Sam mungkin bisa menghindari jam-jam hormat pada tiang kosong. Tapi, dia tidak bisa menghindar dari hukuman jalan jongkok mengelilingi lapangan, bersama Remi.

Extended Goodbye [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang