Part 6 ~Remember, Love You~

3.8K 268 8
                                    



Sam masih ingat.

Ruang detensi Middleburgh School menjadi satu-satunya tempat di luar ruang kelas yang seringkali Sam kunjungi.

Dengan bentuk persegi dan berdinding seputih awan, hanya terisi sebuah meja panjang dengan dua buah office chair yang terselip saling berhadapan. Letaknya berada di satu arah dengan pintu masuk. Pada sudut terluar meja terdapat pajangan kecil bendera dengan corak bintang dalam kotak warna biru dan garis-garis paduan merah putih. Tidak ada foto yang menemani sejajar dengan pajangan itu. Kecuali jika setumpuk dokumen bisa dianggap cukup artistik untuk menghiasi meja.

Tidak ada bunga atau apa pun di sana, tapi setiap kali Sam masuk, akan tercium aroma melati yang cukup kuat. Entah mungkin parfum Mrs. Anderson terlalu kuat, atau diam-diam dia menyelipkan pengharum ruangan di bawah meja.

Yang jelas ruang Mrs. Anderson berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ruang Pak Danto. Dinding bercat putih gading itu berhiaskan foto presiden juga piagam sekolah, dan mejanya tidak penuh tumpukan dokumen. Tapi, yang lebih penting, Sam tidak menyium aroma apa pun, yang jauh lebih baik daripada melati. Karena Sam tidak yakin akan mampu mengisi waktu berjam-jam menuliskan detensi; saya berjanji tidak akan melakukan kesalahan yang sama, tanpa pulang dengan mual-mual seperti yang selama ini dia alami begitu keluar dari ruang Mrs. Anderson.

"Ini apa?" tanya Sam begitu Pak Danto menyodorkan sebuah amplop. Ada logo bunga mawar yang terlilit batang kehijauan dengan pita bertuliskan Andreas, di bagian sudut kanan atasnya.

"Surat untuk orangtuamu."

Alis Sam terangkat sedetik. Dia sudah menyiapkan jari-jarinya untuk menulis ratusan kalimat dan Pak Danto hanya berkata demikian?

"Maksudnya?" tanya Sam bingung.

"Saya mau bicara dengan orangtuamu atas kenakalanmu selama ini."

"Bukannya saya cuma menulis kalimat penyesalan, Pak?"

"Nggak mempan. Saya panggil kamu ke ruangan kemarin sepulang sekolah aja kamu nggak datang," Pak Danto membalas cepat, membuat Sam teringat pada ketergesaannya kemarin saat meninggalkan sekolah menuju rumah Mika. "Saya tunggu orangtua kamu besok. Dan, saya harap nggak akan ada lagi kamu, anak baru, yang melanggar aturan sekolah."

"Tapi, Pak... saya bakal menjaga aturan sekolah."

"Kasih surat itu ke orangtua kamu, dan saya tunggu besok."

Sam mengerutkan kening.

"Silakan keluar, Sam." Pak Danto mengulurkan tangan, menunjuk pintu.

Sam pernah mencoba bernegosiasi dengan Mrs. Anderson dan hasilnya adalah tambahan jam detensi. Sam tidak mau kalau-kalau Pak Danto malah memperburuk situasinya dengan menyuruh Sam menelpon Ibunya sekarang juga untuk datang menghadap. Karena itu, Sam segera beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan Pak Danto sambil memandang surat di tangannya.

Sejujurnya, Sam akan jauh lebih senang jika harus memilih hukuman ratusan atau bahkan ribuan kalimat di atas kertas, menyambut menit demi menit dengan aroma melati sekali pun, dibanding harus menyeret orangtuanya ke dalam hal ini. Karena bukan reaksi marah atau kecewa dalam wajah Ibunya yang bergelut dalam kepala Sam saat itu. Sam hanya tidak suka berurusan dengan Ibunya, lebih dari sekadar keputusan untuk tinggal bersama di Jakarta.

Karena mungkin saja keputusan itu adalah salah besar.


##

Halo,

Selamat tahun baru untuk semua pembaca :)

Btw, bersamaan tahun yang baru, Extended Goodbye ganti cover. Yang mau komen, akan dengan sangat senang sekali saya terima komennya, loh. Jangan malu-malu tinggalkan jejak. Karena komennya bisa jadi cambuk untuk tetap semangat menulis  ^^v


Salam, 

Clara Canceriana


Extended Goodbye [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang