Bagi Mika, tidaklah mudah berdamai dengan kenangan.
Dimulai dari teras depan yang dulu memajang kursi terbuat dari anyaman rotan yang berbentuk seperti telur, dengan bantalan empuk dan biasa menopang Ayah di sana.
Dulu, pagi Mika akan diisi dengan pemandangan di mana Ayah membaca koran dan Mika akan mendengar suara lembaran yang dibalik bersama siulan pelan 'Grandfather's Clock'. Namun, perlahan bayangan itu pudar seiring dengan kursi anyaman yang juga turut lenyap dari tempatnya. Ibu memutuskan untuk menjualnya sekitar tiga tahun lalu karena beberapa simpulnya terlepas dan malah menjadi sarang semut.
Kini, ruang tengah rumahnya pun tidak lagi memiliki sofa berwarna cream yang nyaman. Tempat Ayah biasa berbaring dan tak jarang tertidur kala menonton berita malam. Kulitnya memang sudah berkerak kala Mika terakhir kali melihatnya. Sehingga lagi-lagi Ibu memilih menyingkirkan benda itu seakan ingin menyingkirkan kenangan tentang Ayah. Lalu menggantinya dengan sofa lain yang lebih modern, tapi tidak senyaman kesukaan Ayah.
Saat mendekor ulang interior rumah, Ibu memang menambahkan sebuah meja kecil di salah satu sudut ruang tengah, mungkin sekitar empat tahun lalu—Mika tidak begitu ingat. Ibu sengaja meletakkan foto terbaik Ayah seolah dengan begitu beliau mampu menunjukkan penghormatannya sebagai seorang istri. Ibu menyuruh Mika memilih foto Ayah, lalu mencetaknya ke dalam sebuah pigura berwarna hitam.
Kini, sudut ruang tengah itu menjadi tempat yang Mika sukai. Dia bahkan bisa memandang senyum lebar dan sorot mata hangat itu dari meja makan. Karena tatapan yang pernah menguatkan Mika itu, juga pernah berkata padanya, "kamu tahu alasan Ayah kasih kamu nama Mika? Karena Mika berarti malaikat kecil pembawa keajaiban". Dan, kemudian mengalunlah cerita kalau Ibunya nyaris tidak tertolong saat melahirkan Mika. Itulah sebabnya Ayah selalu berkata bahwa Mika adalah malaikat kecilnya—selalu.
"Mau sampai kapan kamu ngeliatin Ayah, Mik?"
Mika menoleh, sedikit terkejut saat suara Ibunya menyusup. Sosok perempuan berdaster batik itu muncul dan membereskan piring-piring kotor bekas nasi goreng.
"Udah jam enam lima belas. Kamu bisa terlambat, loh."
Mata kelereng Mika melirik sekilas, lalu bergerak ke arah jam dinding dan menyadari bahwa dia terlalu lama melamun di depan foto Ayah. Mika hanya menyahut kata iya yang singkat dan bergegas menyambar tas ranselnya. Dia mendekati foto sang Ayah dengan berjongkok di depan meja kecil itu.
"Ayah aku berangkat dulu, ya." Suara Mika pelan, teratur seakan masih bisa membagi menit-menitnya dengan senyum dalam foto itu. Mika mengusap bagian kaca pigura sebelum bergerak ke teras, hanya pamit seadanya pada Ibu. Mika mengenakan pantofelnya terburu-buru, nyaris terjungkal sebelum Mika melesat keluar pagar. Sejenak dia berhenti memandang pagar berbentuk wajik yang pernah menjadi saksi bisu untuk selembar foto yang masih tersimpan rapi di dalam tasnya.
Foto yang kemarin Sam berikan.
Saat itu Mika memang tidak punya pilihan. Namun, jika dengan berlari mampu menyelamatkannya, Mika hanya ingin terus berlari. Mengejar waktu yang menipis sekaligus meninggalkan kenangan-kenangan pahit yang menjadi bayangan.
~
Sepatu pantofel Mika menghentak jalanan aspal semakin kuat. Menimbulkan irama tok tok super cepat sementara angin membelai wajah ovalnya. Mika tidak peduli pada rambut hitam, menyentuh dada yang pasti sudah terlihat kacau seakan dia tidak mengenal benda bernama sisir. Juga tidak bisa peduli pada kakinya yang terasa seperti membengkak seiring dengan paru-parunya yang menciut, membuat napasnya tersengal-sengal. Karena tidak ada yang jauh lebih membahagiakan ketika melihat gerbang SMA Andreas masih terbuka. Sementara beberapa anak terlihat tergesa-gesa, beberapa terlihat tidak begitu peduli, melangkah memasuki area sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Extended Goodbye [Sudah Terbit]
Fiksi RemajaExtended Goodbye "Sekeping hati yang pergi sebelum berpisah" a novel by Clara Canceriana Samuel Christian Bailey yakin kalau dia tidak akan bisa melupakan kenangan tentang seorang malaikat kecil bernama Mika Angelique Setiawan . Si penggila...