Mika tidak pernah membayangkan ini.
Dulu, gerbang yang baginya tampak seperti raksasa berlapis cat putih itu, kini terlihat begitu normal seperti pagar pada umumnya sebuah rumah. Catnya pun telah berganti menjadi didominasi oleh warna biru. Dengan tetap mempertahankan papan pengumuman yang tergantung di sisi kanannya; memajang deretan huruf tegak yang mengukir nama SD Andreas. Di depan-depannya, masih juga berjajar penjaja makanan yang menggunakan pikulan serta gerobak dorong. Mulai dari kue, manisan, gulali atau seperti martabak telur, yang tidak pernah sepi dikerumuni bocah-bocah berseragam putih merah, yang bahkan tidak lebih tinggi dari dorongan gerobak si penjual.
Ketika mata Mika menerobos gerbang, sebagian bocah lain berlarian ke sana kemari. Tertawa-tawa saling berkejaran dengan teman-temannya, tanpa sedikit pun terlihat memiliki beban. Mengirimkan bising yang membahana, yang tanpa sadar justru membuat Mika tersenyum tipis. Ada kerinduan menguar dari sepasang mata bulat itu.
Mika bahkan tidak bisa menahan gerakan kepalanya untuk tidak mengikut ke arah seorang bocah perempuan berlari keluar dari gerbang, dikejar oleh bocah laki-laki.
"Dia mirip banget sama...," ketika Mika menoleh, hendak berbicara pada Sam, cowok itu tidak ada di sebelahnya. Mika mengerutkan kening sementara matanya mencari-cari... lalu Mika terkesiap! Pekiknya tertahan. Kakinya mundur satu langkah ke belakang. Matanya semakin bulat. Di hadapannya, Sam tertawa-tawa dengan sebuah ular karet bergoyang di udara sementara bagian ekor berada di genggaman tangannya.
"Lo masih takut sama mainan ini?"
Air muka Mika berkerut, "Nyebelin." Dia menatap Sam dengan mata membulat, sama sekali tidak menemukan ide bagaimana bisa cowok itu memiliki mainan menjijikkan yang sebaiknya dipunahkan saja. Baru ketika Mika menemukan gerobak penuh barang, mendapati sekawanan serangga palsu terbungkus plastik di sisinya, dia akhirnya paham bagaimana Sam bisa memiliki ular tersebut. Namun, satu detik berikutnya, Mika justru tersenyum, sedikit menyimpan jijik. "Gue nggak pernah mau pegang mainan karet sejak kejadian hari itu."
"Sorry." Sam berkata singkat sambil memasukkan mainannya ke dalam saku tas. Tawanya jauh lebih reda saat dia memilih untuk duduk di undakan, sejajar dengan para pedagang gerobak. Satu kakinya terangkat, sementara tangannya memanggil Mika untuk duduk dalam barisan yang sama.
Tidak ada alasan bagi Mika untuk langsung menurut. Sama dengan halnya, tidak ada alasan baginya untuk menolak. Setelah tiga detik menimang, Mika bergerak. Lalu mengambil ruang kosong dan memutuskan memasang jarak sepanjang lengan.
"Yah, sulit sih buat dimaafin," sahut Mika sambil membuang napas. Tatapan lekat Sam yang terasa begitu hangat di sampingnya, membuat Mika memilih untuk melempar pandangannya lurus, mengamati jajaran mobil jemputan yang terparkir.
"Yeah, it's okay not to be forgiven, asal nggak dilaporin ke Ayah lo aja."
Kalimat itu memutar ingatan Mika pada hari kemarin. Saat dia duduk diam untuk waktu yang lama di depan gundukan tanah yang menyimpan rapat-rapat kenangan tentang Ayah, juga Sam. Saat Mika akhirnya berhasil mengeja sebaris kalimat, 'aku ketemu lagi sama Samuel, Yah' dalam suara yang serak. Hanya tidak ada balasan dari Ayah untuk kalimat Mika itu. Kecuali pantulan bayangan sosok Ayah yang muncul dalam sudut kepala Mika. Di mana Mika yakin kalau Ayah akan berkata, 'kamu pasti senang, kan?' sambil tersenyum lembut. Karena Mika tahu, Ayah bisa menlai apa pun yang Mika pikirkan hanya dengan melihat perubahan kecil pada mimik wajahnya.
"Mika?"
Suara itu seperti menyatu dengan suara Ayah. Entah bagaimana Sam seperti memiliki nada yang biasa Ayah ucapkan saat memanggilnya. Yang ketika Mika tersadar, Sam sudah memperpendek jarak di antara mereka.
Mika berdehem, menyadari ada degup aneh dalam dada. "Bokap gue..., udah meninggal, Samuel. Kalau pun gue ngelaporin soal lo, dia nggak akan bisa kasih tanggapan apa pun."
Air muka Sam berubah. "I'm really sorry to hear that...."
Kalimat Mika jelas membuat Sam terlihat merasa bersalah. Cowok itu justru menggaruk sudut alisnya seolah dengan begitu akan menutupi kekikukkan yang sejujurnya bisa Mika intip. Bagi Mika, sosok di hadapannya itu seperti bukan Sam yang dia kenal. Bukan Sam yang bisa tertawa bebas dan lepas lagi. Atau, Sam yang memiliki keberanian seakan siap menantang Himalaya. Sam yang ada di sampingnya, kini seperti sesosok cowok yang berusaha keras agar siapa pun tidak melihat kekosongan hatinya.
"Were you close to your father?" Sam bertanya. Namun, sorot matanya entah terarah ke mana. Mika hanya bisa menangkap sebuah sorot yang seolah menjabarkan kecewa terhadap rindu. Setelah menyimpan siluet itu dalam kepalanya, Mika akhirnya mengangguk. "Me too. Tapi, Dad—I mean Ayah gue juga nggak di sini."
"Seenggaknya bokap lo masih hidup, Samuel." Samar, Mika teringat akan sosok berambut cokelat dengan tone yang sedikit lebih terang dari Sam. Bertubuh tegap, tinggi dan memiliki rahang yang kini tercetak persis seperti Sam.
Cowok itu terdiam cukup lama. Sebelum kemudian dia mengangguk, "Lo bener." Lalu dia menarik keluar sehelai tali berwarna hitam dari balik kerah kemeja OSIS-nya. Sebuah kalung dengan dua bandul cincin perak. "Dan, seenggaknya gue punya ini. Dad gave this to me one month before I came back here."
"Cincin?"
"Cincin pernikahan mereka."
"Kenapa lo yang pegang?"
Kali ini Sam terlihat risih sebelum menjawab, "Well," kedua bahunya bergerak, "I believe that you'll do the same reaction as me if I ask you kenapa lo berpikir bahwa gue ini berbohong soal perasaan gue?"
Pertanyaan itu seolah menendang ulu hati Mika.
"Lo cuma menghindar, Samuel,"Mika mengetatkan bibir sementara bola mata kelerengnya bergulir ke samping. Yang kemudian sedikit penyesalan muncul setelah berkata demikian. Karena hatinya tahu, bahwa orang yang selalu melakukan hal tersebut adalah dirinya.
"No, I don't, Mika. Listen, kalau gue tahu, gue mungkin bisa jawab." Pundak melengkung Sam terangkat tinggi-tinggi. "Tapi, yah... nggak semua perlu penjelasan, Mika. Gue tahu. Di antara kita pasti ada salah satu yang punya kecewa lebih dalam. Dan, bukan salah lo kalau lo nggak mau bicara. Karena kecewa nggak akan pernah ngasih excuse untuk hati lo terima."
Saat Sam terdiam, Mika ikut terjun dalam bungkam. Mengunci keduanya dalam pikiran masing-masing seakan tengah menggali ulang ingatan luka masa lalu.
Namun, bagaimana pun Sam berkata benar. Tidak semua hal perlu penjelasan, termasuk apa yang terjadi dengan mereka. Hal-hal yang sejujurnya ingin Mika lupakan. Secara tidak langsung Sam telah membantunya untuk tidak lagi bergulat dengan semua alasan-alasannya selama ini. Mika tidak perlu lagi memikirkan semua tumpukan surat-surat yang tidak akan pernah terbalas, tentang plester yang terkubur, tentang kebohongan yang Mika ciptakan. Namun, Mika tidak yakin apa Daniel adalah alasan Mika yang tepat untuk memasang jarak terhadap Sam selama ini? Demikian juga dengan alasan membiarkan Sam tetap berada di sisi Mika.
"Bokap pernah bilang satu hal." Mika menunduk, membelah bising yang membungkam mereka. Sementara tangannya memainkan zipper tas selempangnya sendiri. "Buat dia, gue adalah malaikat kecilnya—makanya dia kasih nama ini. Tapi, bokap juga bilang, bahkan malaikat pun punya malaikat penjaga. 'Karena pada dasarnya setiap orang itu bayi yang perlu dituntun supaya nggak salah jatuh dan luka,' begitu katanya." Mika mengatupkan bibir. "Itu yang bokap gue tinggalin. Mungkin," lalu menambahkan kedikkan pada kedua bahunya sebelum menoleh ke arah Sam.
Cowok itu menoleh perlahan, lalu berhenti pada wajah Mika. Tatapan matanya tenang, sekaligus lembut. Dengan ujung bibir tipis kemerahan yang mencuat tipis.
"If that so," suara Sam terdengar sedikit serak dan rendah. Mungkin telah menggantungkan kalimatnya cukup lama di tenggorokkan. "Would you be my angel, Mika?"
Saat Mika menoleh, kedua mata Sam menebarkan semburat hangat di dadanya. Namun, kepala Mika masih di ambang sadar. Yang seandainya dia berkata iya, apakah itu cukup menjadi alasan untuk membiarkan Sam berada di sisinya?
![](https://img.wattpad.com/cover/87365244-288-k269777.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Extended Goodbye [Sudah Terbit]
Ficção AdolescenteExtended Goodbye "Sekeping hati yang pergi sebelum berpisah" a novel by Clara Canceriana Samuel Christian Bailey yakin kalau dia tidak akan bisa melupakan kenangan tentang seorang malaikat kecil bernama Mika Angelique Setiawan . Si penggila...