Part 5.6 ~Back to You~

3.9K 306 2
                                    


Sejujurnya, seberapa banyak manusia itu berbohong?

Puluhan kali ketika Ibunya melarang Sam keluar bermain di tengah malam, Sam melompat keluar dari jendela belakang rumah. Tentu setelah memastikan kalau Ibu melihatnya berselimut di atas tempat tidur. Atau, ketika Sam sedang tidak ingin sekolah, tetapi Ayah tetap memaksa, maka jurus andalan Sam adalah mengaku tidak enak badan.

Bahkan dulu, saat Sam datang ke depan pagar rendah berwarna hitam itu.

Ketika meneriaki nama Mika sambil mengusap ujung-ujung matanya dengan lengan, Sam terus berusaha menyembunyikan matanya yang kala itu sudah basah. Mengelak apa yang telak Mika tebak hingga Sam tidak punya pilihan selain berkata sebaliknya. Hanya karena tidak ingin menjadi kalah di depan Mika.

Namun, saat tahunan membawa Sam kembali, dia yakin kalau dia tidak membawa kebohongan kali ini. Kekhawatirannya sungguh-sungguh. Hanya saja, tahunan mengiringi Sam dengan perasaan lain yang mungkin akan dia ingat seumur hidupnya. Tentang seberapa gugupnya dia. Tentang seberapa banyak pilihan kata sebagai sapaan yang mampir ke dalam otak, tetapi tidak satu pun bisa dia pilih.

Tangan Sam reflek mengetuk pagar rendah yang berjarak satu jengkal di depannya. Kemudian sosok berbalut kaos hitam dan celana jins, muncul dari balik pintu berpelitur cokelat itu. Dengan rambut sepundak yang terlihat tergerai dan sedikit berantakan, Mika bergerak menuju teras dengan kedua bola mata yang memandang lurus. Tidak ada tanda-tanda kulit pucat itu semakin kehilangan warnanya. Bahkan dalam balutan keterkejutan Mika, Sam masih bisa menilai kalau cewek itu cukup bertenaga untuk memandangnya sedemikian kaget.

"Samuel?" sapanya, sama bingungnya dengan hari perpisahan itu.

"Are you okay?" tapi, tahu-tahu kalimat itu tetap meluncur dari bibir tipis Sam.

Dari balik otot-otot wajahnya yang terasa seperti baru saja menyambut angin musim dingin. Mata Sam menatap lurus dari bawah alis panjangnya. Mengamati Mika dari balik pagar rendah berwarna hitam. Sam yakin kalau dia tidak butuh lagi jawaban atas pertanyaannya sendiri. Kekhawatiran yang memenuhi rongga dada Sam pun perlahan menguap, lenyap seperti tidak berbekas.

"Gimana lo bisa ke sini?" Bukan hal yang aneh ketika Mika justru menanyakan bagaimana Sam menemukan kembali rumah itu.

Satu tangan Sam menyelinap masuk ke dalam saku celana abu-abu. Pundaknya mengedik pelan saat bola matanya menggelinding ke kanan.

"There's always a way."

"Lo aneh, Samuel. Kalau kayak gini, lo bisa gue anggap sebagai stalker."

"Even if you said so."

Mika terlihat menelan kembali kalimatnya. Juga barangkali telah menelan undangan untuk masuk dan duduk di bangku panjang di teras, untuk mengobrol santai. Bukan dengan berdiri berhadapan, persis sepasang orang asing yang hanya dibatasi oleh pagar rendah bercat hitam.

"Well, sebenarnya gue ke sini pengin ngasih ini," Sam mengeluarkan sesuatu dari balik saku tas, menyodorkannya melewati pagar. Benda tipis itu berhasil menggerakkan kaki Mika dari atas pijakannya. Tangannya terangkat, seperti hati-hati menerima uluran Sam. "Gue nggak tahu lo sadar apa nggak, tapi dulu gue pernah kasih band aid ini ke lo—not handed it in person, tapi kalau lo menyadarinya, ada di selipan tas lo."

Entah berapa lama Mika mengamati plester itu. Mika seperti sedang menebar nostalgia di atasnya. Sebelum pundak mungilnya jatuh bersama helaan napas,

"Gue tahu, kok."

Kedua alis Sam naik. "Seriously? Why didn't you put on your wound? Gue nggak pernah lihat lo pake band aid ini. Gue pikir lo nggak sadar sama sekali."

"Bagian itu gue nggak inget," Mika tidak mengangkat wajahnya. Tetapi, Sam bisa menemukan bola matanya bergulir ke samping kiri saat dia menyelipkan plester Sailormoon itu di saku celana jins. Tangannya kembali bersedekap seakan ingin menelan kedua lengan kecil miliknya di dalam pelukan.

Sam mengangguk kecil walau dia tidak puas dengan jawaban Mika.

Sikap dingin Mika seolah mengingatkan Sam pada apa yang dia yakini bahwa setiap orang selalu berusaha menyembunyikan kenyataan darinya.

"Yeah, it's okay if you don't wanna talk about it," Sam mengatupkan bibir, berusaha menenangkan apa yang mendadak bergemuruh dalam dadanya. "Just... gue mau make sure kalau lo baik-baik aja. Dan, sepertinya memang baik-baik aja. Makanya, gue mau ngajak lo jalan. Mungkin bisa ke satu tempat...." Bahu kanan Sam bergerak.

"Samuel...," Mika nyaris tidak bergerak, "sori, gue ada janji."

Kalimat bernada datar itu membuat Sam terdiam sejenak. Tatapannya menajam, seolah dengan begitu dia bisa menganalisis Mika lebih jauh.

Sepanjang hidupnya, Sam hanya mengenal dua tipe manusia. Yang seperti Caleb, Matthew, dan Lim yang akan berkata 'sorry, I really can't go with you', ketika mereka memang memiliki kelas tambahan atau mendapat larangan keluar dari orang tua. Atau, yang seperti Ibunya, yang akan berkata, 'sorry, Hunny, I've to go to work', setelah ratusan pertengkaran dalam rumah mereka. Sam tahu Ibunya hanya menghindari acara-acara yang melibatkan Peter di dalamnya.

Saat kerutan tidak nyaman itu tercetak dalam wajah Mika, Sam dengan mudah menebak bahwa ada sesuatu yang membuat cewek itu mendadak gelisah. Entah berharap kalau sebaiknya Sam pergi dari tempat itu, atau Mika tidak ingin ada orang lain yang menyaksikan kehadiran Sam di sana.

"You don't have to lie to me, Mika."

Sam berusaha keras untuk tidak menampakkan kekecewaan dalam setiap nada suaranya. Bukan karena penolakan cewek itu, melainkan pada cara Mika yang justru mengingatkan Sam pada bagian dari Ibunya yang paling dia tidak suka.

Dalam gerakan mendadak, Mika mensejajarkan pandangannya pada Sam. Ada sekelebat tatapan terluka seakan Sam baru saja mengatainya sebagai pembohong.

"Hah? Lo nggak tahu apa-apa, Samuel." Alis tebal Mika menyatu di pangkal hidungnya, menimbulkan kerut semakin dalam, yang seolah mendefinisikan banyak emosi. "Yang bohong dan mempermainkan gue itu orang-orang di sekitar gue. Sampai gue nggak tahu lagi siapa yang jujur sama gue."

Hingga detik sebelum ini, Sam selalu percaya Mika mampu menelaahnya.

Bukankah Mika yang berhasil menemukan isaknya dulu? Sekuat apa pun Sam menyangkal, Mika tetap menang pada akhirnya. Tetapi, kali ini, mata bulat itu memandang lurus seolah hanya terisi oleh keraguan. Mungkin, manusia memang aneh. Karena ketika disodorkan kejujuran mereka menjadi sulit percaya, namun saat menerima kebohongan mereka dengan mudah percaya.

Kecewa? Entah bagaimana Sam harus menamai rasa frustasinya kala itu.

"Gue memang nggak tahu hal itu. Gue nggak tahu banyak soal lo, okay? Meski begitu, biar ada satu dua orang yang mempermainkan lo, nggak berarti semua orang akan bersikap yang sama ke lo. Yang lo perlu tahu adalah gue serius dengan semua perasaan gue. Dan, gue nggak mau membuat lo kecewa lagi, Mika."

Tatapan Sam lurus, terpaku tajam hingga ke iris mata Mika. Seakan dengan begitu, Sam bisa menstransfer seluruh isi hatinya ke dalam kepala Mika.

"You just have to trust me."

Namun, Mika hanya mendesah. Mengirimkan sebuah emosi yang Sam terima sebagai bentuk keraguan Mika terhadap dirinya.

Sam mengepalkan tangan. "I'll prove it. Kalau lo butuh bukti, gue akan buktikan."

Dengan rahang yang bergemelutuk pelan, dia mengangguk. Matanya masih tidak lepas dari Mika yang hanya terdiam. Mengurai reaksi yang tidak pasti.

"Tapi, asal lo tahu, Mika. Cinta yang tulus itu sama sekali nggak perlu bukti."

Mata Mika membesar.

Setelah satu detik memberi kesempatan Mika—berharap kalau cewek itu akan mengatakan sesuatu, Sam menelan ludah, pahit. Lalu melempar pandang dan tanpa kata-kata lagi, dia berlalu dari sana. Kakinya melangkah lebar, menjauh dari rumah itu dengan menjejakkan emosi. Tidak berniat untuk menoleh ke belakang.

Tetapi, seandainya dia bisa, Sam ingin sekali memakaikan plester bergambar Sailormoon itu pada hati Mika yang tampak terluka. Berharap benda kecil itu akan mampu menyembuhkan Mika. Atau, justru Sam sendiri yang membutuhkan benda itu untuk menutup hatinya yang tergores sedikit? 

Extended Goodbye [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang